Kolom H.M. Amir Uskara
Juni adalah bulan istimewa. Betapa tidak, 1 Juni 1945 Pancasila lahir. Sedangkan 6 Juni 1901, Putra Sang Fajar — penggali Pancasila itu — lahir di Indonesia.
Pancasila adalah landasan pokok dari Indonesia — negeri kesatuan — yang merdeka 17 Agustus 1945. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 , ditegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara dan Indonesia adalah negara kesatuan. Tapi untuk mencapai dua hal pokok tersebut tidak mudah. Rongrongan terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) datang silih berganti.
Pertama rongrongan terhadap bentuk kesatuan, atau NKRI. Betul, Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Tapi, Belanda — negeri yang selama 3,5 abad menduduki Indonesia — tidak menerimanya. Belanda dengan membonceng Sekutu — aliansi negara-negara pemenang Perang Dunia II — hendak kembali menduduki Indonesia.
Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Belanda secara administratif dan hukum merasa masih “memiliki” Indonesia. Meski kemerdekaan Indonesia sudah diakui oleh sejumlah negara, terutama dari Timur Tengah seperti Mesir dan Saudi Arabia — tapi Kerajaan Belanda tetap menganggap kemerdekaan Indonesia belum sah secara hukum. Itulah sebabnya Belanda terus berusaha merongrong eksistensi kemerdekaan Indonesia. Tapi pengakuan internasional yang makin kuat terhadap kemerdekaan Indonesia, membuat Belanda mulai kehilangan kepercayaan diri.
Inggris — setelah melihat kegigihan perjuangan Indonesia dalam perang 10 November 1945 di Surabaya yang menewaskan panglimanya Brigadir Jenderal Mallaby — tampaknya merasakan tekad proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut.
Pengakuan eksistensi kemerdekaan Indonesia di dunia internasional yang makin kuat, menjadikan ambisi Belanda untuk kembali menjajah Indonesia mulai “goyah”. Kepercayaan dirinya melemah. Akhirnya, atas desakan Kerajaan Inggris, Belanda mau berunding dengan Indonesia di Linggarjati, Cilimus, Kuningan, 11-15 November 1946.
Bagi Indonesia sendiri, Perundingan Linggarjati (PL) yang dipimpin Sutan Sjahrir dan Mohamad Roem merupakan starting point internasionalisasi kedaulatan Indonesia.
Ketangkasan diplomat dan politisi Indonesia dalam memanfaatkan PL, menjadikan delegasi Belanda yang dipimpin Gubernur Jenderal Dr. Van Mook menyurutkan ambisinya untuk menguasai Indonesia kembali. Alih-alih mendeligitimasi kemerdekaan Indonesia sesuai rencana Amsterdam, dunia internasional justru mendukung kedaulatan Republik baru itu.
Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia — meski yang diakui secara de facto, hanya berdaulat di Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. NKRI yang sesuai Pancasila masih “digantung” Belanda.
PL yang ditandatangani 25 Maret 1947 di Jakarta menghasilkan empat poin krusial. Pertama, Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura. Kedua, Belanda harus meninggalkan wilayah Republik Indonesia selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 1949. Ketiga, Belanda dan Indonesia sepakat untuk membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Keempat, RIS harus bergabung dengan negara-negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda.
Dari empat poin hasil PL, Indonesia sebetulnya dirugikan. Betapa tidak! NKRI yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 45 porak poranda diruntuhkan kesepakatan PL. Tragisnya, kesepakatan PL pun dikhianati Belanda.
Perjanjian Linggarjati jelas merugikan Indonesia. Tragisnya, Belanda sendiri tidak puas dan melanggar PL. Tentara Belanda kembali menyerang Indonesia, 21Juli-5 Agustus 1947.
Itulah agresi pertama Belanda setelah kemerdekaan. Belanda menyatakan PL tidak berlaku. Konflik RI dan Belanda pun makin meluas. Kali ini Amerika, Belgia, dan Australia mendesak Belanda untuk kembali berunding dengan Indonesia di atas kapal perang USS Renville yang sedang berlabuh di Tanjung Priok, 8 Desember -17 Januari 1947.
Ternyata, Perjanjian Renville, hasilnya makin menyudutkan Indonesia. Ternyata Perjanjian Renville (PR), hasilnya makin menyudutkan Indonesia. Wilayah Indonesia makin sempit, hanya meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Jawa Barat, Jawa Timur, dan Madura hilang. Penolakan atas PR merebak di mana-mana.
Perdana Menteri Amir Sjarifudin yang mewakili Republik Indonesia di PR pun dituduh telah “menjual tanah air” kepada Van Mook, wakil Belanda.
Dasar kolonial. Belanda kembali membatalkan PR. Pada 19 Desember 1948, tentara Belanda menyerbu Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia Serikat (RIS). Inilah yang disebut agresi kedua Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta ditahan. Pertempuran pun pecah di Yogya dan sekitarnya.
Dunia Internasional menekan Belanda dan Indonesia agar menghentikan peperangan. United Commission for Indonesia (UNCI) yang dibentuk PBB, menggiring kedua negara ke meja perundingan, 14 April 1949 di hotel Des Indes (kini Duta Merlin), Harmoni, Jakarta.
Delegasi Indonesia dipimpin Mohamad Roem dan delegasi Belanda dipimpin Herman van Roijen. Jakarta dan Amsterdam, begitu kesepakatan Perjanjian Roem- Roijen, harus mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban-keamanan. Kedua negara harus mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang direkomendasi UNCI untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat tanpa syarat.
Konferensi Meja Bundar (Nederlands-Indonesische rondetafelconferentie) berlangsung 23 Agustus hingga 2 November 1949. Pesertanya: Delegasi Republik Indonesia dipimpin Bung Hatta; delegasi Belanda dipimpin Henricus van Maarseveen, dan UNCI sebagai mediator dipimpin Thomas Kingston Critchley (wartawan Australia). Di samping itu, KMB juga dihadiri Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). BFO hadir mewakili berbagai negara “boneka” Belanda di kepulauan Indonesia. Mereka bagian dari RIS.
Hasil KMB: Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Pengakuan kedaulatan itu ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen, dan Mohamad Hatta.
Catat, meski KMB mengakui kedaulatan Indonesia, Indonesia masih berbentuk RIS. Belanda dan antek-anteknya di nusantara masih berusaha memecah belah Indonesia melalu RIS. Melihat hal itu, Muhamad Natsir, politisi Islam dari Partai Masyumi mengajukan Mosi Integral di Parlemen, 3 April 1950. Mosi Integral itu pun mendapat dukungan parati-partai politik di Parlemen. Dan…tok tok tok. Palu sidang pun diketok di depan sidang parlemen, menyetujui Mosi Integral. Indonesia kembali menjadi negara kesatuan sesuai UUD 45 dan Pancasila.
Itulah jasa Natsir yang luar biasa kepada bangsa Indonesia. Sampai – sampai Bung Hatta menyatakan, 3 April 1950, adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Kedua. Bung Karno pun menyatakan suka citanya kepada Mosi Integral Natsir tersebut. Sebab, NKRI adalah cita-cita Bung Karno.
Sejarah terus berputar. Pancasila dan NKRI kembali dirong-rong. Kali itu oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI hendak mendirikan negeri komunis Indonesia dengan ideologi Sosialisme- Marxisme. Kemudian, meletus peristiwa G30S PKI.
Presiden Soeharto bertindak tegas. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar, 1966), PKI ditetapkan sebagai partai terlarang karena melakukan pemberontakan dan berkhianat kepada Pancasila.
Permasalah Pancasila belum selesai. Kali ini, di era reformasi, paca 1998 (setelah jatuhnya Orde Baru), muncul gugatan dari sebagian kelompok Islam tertentu, yang menginginkan Pancasila diubah ke dalam azas syariah Islam. Ada kelompok elit politik yang ingin mendirikan negara khilafah dengan basis hukum syariah.
Politik pun memanas. Isu antara pilihan Islam atau Pancasila merebak. Dalam kondisi seperti itu, KH Maimoen Zuber, sesepuh Partai Persatuan Pembangunan, membuat pernyataan tegas bahwa Islam dan Pancasila tidak bisa dipisahkan. Kata Mbah Moen — panggilan akrab KH Maimoen Zubair — Islam dan Pancasila berada dalam satu tarikan nafas.
Sejak munculnya pernyataan tegas Mbah Moen tersebut, politik de-pancasilaisasi di era reformasi redup. Pancasila dan Islam berada dalam satu tarikan nafas umat Islam Indonesia menjadi “kalimat sakti” yang dikutip dan dijadikan referensi di mana-mana, baik oleh eksekutif maupun legislatif. Mayoritas umat Islam mendukung pernyataan KH Maimoen Zubair tadi. Dan pihak-pihak yang menginginkan Indonesia menjadi negeri khilafah yang berdasarkan syariah tersingkir akibat pernyataan Mbah Moen.
Sekali lagi, itulah sumbangan ulama Islam terhadap eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila. Pak Natsir dan Mbah Moen telah berhasil menyelamatkan NKRI dan Pancasila dari rongrongan dengan caranya yang elegan.
Dari gambaran tersebut, Bung Karno, Pak Natsir, dan Mbah Moen merupakan tiga serangkai yang mengusung dan menyelamatkan Indonesia dari rongrongan kaum anti NKRI dan anti-Pancasila. Ketiganya adalah tokoh besar di mana bangsa Indonesia wajib mengenang jasa-jasanya kepada republik yang kita cintai ini.
Ketua Fraksi PPP DPR RI