Dari Tonrong Bola, Marusu dan Manusia Bugis

0
35
- Advertisement -

Kolom Bachtiar Adnan Kusuma

Benarlah kata Tome Pires, salah seorang Portugis pada 1511 menyebutkan kalau pedagang Bugis yang berlayar ke Malaka dari salah satu tempat yang dia sebut pulau “Macacar”. Orang Bugis adalah salah satu suku dari berbagai suku bangsa di Asia Tenggara dengan populasi dari empat juta orang. Meskipun orang Bugis sudah tak asing lagi bagi pembaca novel Joseph Conrad atau yang pernah melihat perahu mereka berlabuh di berbagai bandar di Indonesia.

Christian Pelras, salah seorang peneliti dari Universitas Sarbonne, Paris dalam bukunya berjudul”Manusia Bugis” yang diterbitkan Forum Jakarta Paris, pada 2006, tegas menyebutkan kalau anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut yang bersumber dari banyaknya perahu pada abad ke-19 berlabuh di berbagai wilayah nusantara, dari Singapura sampai ke Papua dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia. Kenyataannya, kata Pelras orang Bugis pada dasarnya adalah petani.

Dari apa yang dikemukakan Pelras dan Tome Pires, penulis lebih tegas menarik pelatuk kesimpulan kalau Orang Bugis dan orang Makassar adalah pelaut, petani sekaligus pedagang. Kesimpulan penulis membuktikannya, tatkala ponakan penulis Syamsidar Syamsu Alam menikah dengan Iwan, keduanya dipertemukan di pelaminan perkawinan pada Ahad, Tgl 7 Desember 2025 di Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros.

Penulis didaulat memberikan sambutan mewakili keluarga besar mempelai perempuan yang juga masih tercatat sebagai cicit dari Puang Laparinta Daeng Rau, kakek dan ayah kandung dari ibu penulis Hajjah Baeduri Daeng Ingimi. Laparinta Daeng Rau adalah salah seorang putra dari Imam Masjid Tonrong Bola, Sengkang yang memilih merantau ke Bontonompo Kabupaten Gowa. Selain ikut serta berjuang mengusir penjajah Belanda, Laparinta Daeng Rau tercatat sebagai guru mengaji yang juga mengajarkan murid-muridnya silat Kantao. Ia juga menjadi pedagang kelontongan di Dusun Talamangape, Bontonompo Kabupaten Gowa( makamnya di belakang masjid Talamangape, Bontonompo).

Karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Hajjah Nuraeda yang juga cucu dari Laparinta Daeng Rau yang berhasil mengumpulkan cucu dan cicit Laparinta Daeng Rau melalui acara pernikahan Idar dan Iwan di Marusu, Kabupaten Maros. Dari berbagai wilayah datang ke Marusu, menghadiri pesta pernikahan Idar dan Iwan, memperkuat kembali ikatan emosional cucu serta cicit Laparinta Daeng Rauf. Dari Wajo, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kolaka Utara, Mamuju Utara, Maros dan Makassar, sebagian besar mereka hadir dan merajut ikatan emosional sebagai sesama cucu dan cicit Laparinta Daeng Rauf.

Penulis sadar betul kalau pernyataan Tom Pires, Christian Pelras tentang Manusia Bugis yang gemar merantau, berdagang dan bertani adalah terbukti dengan berbagai profesi yang ditekuni keluarga penulis yang kini bertebaran di berbagai nusantara. Kendati sebagian besar mereka merantau meninggalkan tanah leluhurnya di Tonrong Bola, Wajo, namun hubungan emosional mereka tidak pernah pudar sedikitpun. Penulis bersyukur karena kendatipun mereka berada di berbagai wilayah di Nusantara Indonesia, namun hubungan silaturahmi tetap terjaga dengan baik melalui group paguyuban bernama Laparinta Daeng Rauf.

Nyaris sebagian besar cucu dan cicit Laparinta Daeng Rau memilih berdagang sebagai profesi pilihan hidupnya. Selain mendiami pasar-pasar di berbagai wilayah di Indonesia, di antaranya pasar Senen Jakarta Pusat, pasar Terong di Makassar dan berbagai pasar di pulau Kalimantan, Jambi dan Riau. Sebaliknya kalau mereka tidak berjualan di pasar-pasar, cucu dan cicit Laparinta Daeng Rau memilih membuka usaha jualan kelontongan di rumahnya masing-masing.

Hajjah Baeeduri Daeng Ngimi, salah seorang putri dari Lapanrinta Daeng Rauf, memilih berjualan di rumahnya sendiri hingga maut menjemputnya. Darah dagang yang mengalir dari orang tuanya, almarhum Hajjah Baeduri juga mengalirkan tradisi berdagang dan berjualan yang kini dilanjutkan Muriati, S.Pd.M.Pd.(adik penulis yang berprofesi guru dan juga berjualan) juga penulis memilih berdagang buku kelontongan dan menjadi pejuang Literasi Indonesia. Demikian pula para kerabat penulis sebagian besar memilih merantau ke berbagai penjuru di Nusantara, sembari berdagang dan melanjutkan darah pejuang yang telah berhasil dialirkan oleh Sang kakek, Laparinta Daeng Rau.

Di atas peta jalan kota Maros, hubungan emosional terus terjalin sampai kapanpun. Fisik dan raga Manusia Bugis dan Manusia Makassar berada di kampung orang, namun kecintaan dan semangat loyalitasnya atas rumpun keluarga masih tetap terawat dengan baik. Di manapun bumi di pijak, disitu langit dijunjung. Selamat kembali ke pangkuan pengabdian di mana kita berjuang sebagai pedagang, pendidik dan sebagai panrinta.

Penulis adalah Tokoh Literasi Nasional, Cucu dari Laparinta Daeng Rauf

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here