Kolom Fiam Mustamin
TIDAK begitu mudah mengingat peristiwa
yang sudah lampau 40 tahun silam.
Tahun 1980 an berhimpun sejumlah anak muda dari artis pemain film, karyawan film dan wartawan film yang tergolong aktivis yang resah/peduli melihat dominasi film impor yang merajai peredaran di bioskop-bioskop dalam negeri.
Mereka-mereka itu kemudian berhimpun dan mendeklarasikan diri dalam suatu pergerakan moral yang dinamai Generasi Muda Perfilman Indonesia (GMPI).
Pergerakan ini diketuai oleh bintang film Roy Marthen pemeran utama tokoh Anton dalam film Cinta Di Kampus Biru yang jatuh cinta kepada dosennya yang diperankan oleh Rae Sita.
Roy Marthen sedang top-top nya saat itu menjadi sangat populer menarik perhatian publik.
Roy Marthen didampingi oleh sejumlah anak muda antaranya Iham Bintang, Sultan Saladin, Edy Purwanto, Khemas Amin, Fuad Rahman dan lain-lain yang tidak ingat lagi namanya.
Gerakan ini untuk lebih memperkuat aksi tunggal yang telah dilakukan oleh aktor Faruk Afero sebelumnya.
Dengan mengunduli kepalanya Faruk
Afero membawa sejumlah pamflet yang bertuliskan : film Indonesia tuan di negerinya, stop dan batasi film impor. Aksi ini cukup menarik perhatian di gedung DPR RI dan kantor PWI.
Lain dengan GMPI yang lebih terkonsepsional datang berdialog menyampaikan tuntutan menjadikan film nasional yang dibuat oleh anak bangsa mendapat prioritas penayangan di bioskop di negeri sendiri.
Tuntutan itu disampaikan ke lembaga Pemerintahan (Menpora dan Deppen) Dewan Perwakilan Rakyat dan Pers sebagai dokumen pergerakan.
Kini setelah sekian puluh tahun berlalu apakah peredaran/ distribusi film di bioskop-bioskop masih terdominasi oleh film asing/impor atau sudah tercapai keseimbangan yang lebih memprioritaskan film film produksi karya anak bangsa itu sendiri?