PINISI.co.id- Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, SH. MH. menyampaikan materi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Subjek Hukum Korporasi Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang” pada Rapat Kerja Teknis Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2021 di Gedung Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Kebayoran Jakarta Selatan, Rabu (15/9/21).
Mukartono, mengatakan saat ini Satuan Kerja Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung sedang menangani perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dengan subjek hukum korporasi berjumlah 13 Perkara sudah memasuki tahap persidangan dan 10 perkara masih dala tahap penyidikan.
Pengertian korporasi dapat ditemukan dalam beberapa referensi, diantaranya, menurut kamus hukum Fockema Andreae, korporasi adalah suatu badan hukum, sekumpulan manusia yang menurut hukum terikat mempunyai tujuan yang sama, atau berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memperlihatkan sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum dianggap sebagai suatu kesatuan, the concise dictionary of law, memberi pengertian, corporation (body corporate): an entity that has legal personality, is capable of enjoying and being subject to legal rights and duties, dan dictionary of law, corporation: a legal body such as a limited company or town council which has been incorporated.
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan, terdapat beberapa penggunaan istilah yang berbeda untuk mengatur subjek hukum korporasi, diantaranya: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menggunakan istilah Badan Usaha. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan menggunakan istilah Badan Hukum.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menggunakan istilah Pelaku Usaha yaitu Orang atau Badan Usaha baik Badan Hukum maupun Bukan Badan Hukum.
Perkembangan pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia sampai saat ini dibagi dalam 3 tahap perkembangan, yaitu:
Tahap pertama, KUHP Belanda 1886 sebagaimana juga kemudian KUHP Indonesia masih dipengaruhi asas societas delinquere non potest, sehingga subjek hukum pidana dibatasi pada orang. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Wetboek van Strafrecht Pasal 51 sebelum dilakukan amandemen, yang perumusannya sama tepat dengan ketentuan Pasal 59 KUHP. KUHP Belanda 1886 menganut bahwa ”tidak mungkin dalam hukum pidana umum suatu korporasi menjadi subjek dari suatu tindak pidana, yang dapat menjadi subjek hukum pidana hanyalah manusia.
Tahap kedua, dalam hukum pidana Belanda dan hukum pidana Indonesia korporasi merupakan subjek hukum pidana dan oleh karenanya dapat melakukan suatu tindak pidana, namun pertanggungjawaban pidananya berada pada pengurus korporasi.
Menurut Mardjono Reksodiputro ketentuan Pasal 51 KUHP Belanda 1886 dan Pasal 59 KUHP Indonesia disamping dapat ditafsirkan sebagaimana pandangan pada tahap pertama, tetapi juga dapat ditafsirkan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana namun pertanggungjawaban pidananya tetap dibebankan kepada pengurus.
Tahap ketiga, baik dalam hukum pidana Belanda maupun dalam hukum pidana Indonesia korporasi merupakan subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana. HaI ini bermula dari perkembangan dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP, yaitu dalam Wet de Economische Delicten 1950 Pasal 15, Rijksbelastingen Wet 1959 Pasal 74 jo. Pasal 2 dan kemudian berlaku secara umum dengan adanya amandemen Pasal 15 WvS Belanda tahun 1976. Sedangkan di Indonesia dimulai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi Pasal 15 dan Undang-Undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi Pasal 17 yang sekarang sudah dicabut dan tidak berlaku lagi.
Seiring dengan perkembangan zaman, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia mulai diakui melalui teori-teori yang mendukung serta kondisi sosial dan ekonomi yang terus berubah. Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia dibuktikan dengan dibentuknya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana namun demikian, menurut Muladi, sejak tahun 1955 terdapat lebih dari 62 undang-undang yang memungkinkan diadakannya suatu pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Dalam perkembangannya saat ini, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana revisi 2019 sudah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45. Di dalam ayat (2) nya, dijelaskan apa saja yang termasuk sebagai korporasi dalam subjek hukum pidana, bahwa korporasi mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan terhadap subjek hukum korporasi dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang diatur dalam: Pasal 1 angka 1 dan 3, serta Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 1 angka 9, 10 dan 14, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Secara umum, pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dianalisis menggunakan dua teori yaitu:
Teori pertanggungjawaban pengganti (vicarius liability), bahwa suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain, terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu ada dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya, walupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan.
Teori pertanggungjawaban ketat menurut undang-undang (strict liability), bahwa suatu pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana tertentu, tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsur kesalahan (pada korporasi).
Praktek Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, dalam penentuan directing mind korporasi, yaitu:
Dalam praktek penanganan perkara tindak pidana khusus dengan pelaku tindak pidana adalah korporasi, di samping perlunya pemahaman teori-teori peratanggungjawaban pidana sebagaimana terurai di atas, juga perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:
Penentuan Directing Mind korporasi
Pejabat senior korporasi (directing mind) merupakan otak dibalik kebijakan-kebijakan korporasi dalam menjalankan kegiatannya. Dalam tataran praktis directing mind ini ditentukan terlebih dahulu dalam hal pengungkapan korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Ada beberapa teori yang digunakan dalam rangka menentukan directing mind korporasi, yaitu:
Teori Identifikasi (Identification Theory).
Teori identifikasi pada dasarnya mengidentikan tindakan dan sikap batin individu yang berhubungan erat dengan korporasi dianggap sebagai tindakan dan sikap batin korporasi itu sendiri. Ketika individu melakukan suatu kesalahan dengan sendirinya kesalahan itu pada dasarnya adalah kesalahan korporasi. Jadi, individu identik dengan korporasi. Teori identifikasi ini merupakan salah satu teori yang digunakan dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang melakukan kejahatan. Secara garis besar, teori ini mengemukakan bahwa agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, orang yang melakukan tindak pidana harus dapat didentifikasi terlebih dahulu.
Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut. Untuk lebih memahami teori indentifikasi ini, dimerasa perlu untuk mengupas teori ini secara lebih dalam. Doktrin atau Teori Identifikasi pada prinsipnya menyatakan:
Those who control the corporation are treated, for the purpose of criminal liability, as embodying the corporation: the act and states of mind of those who control a company are in law those of the company itself.
(Mereka yang mengendalikan korporasi, untuk kepentingan pertanggungjawaban pidana diperlakukan sebagai perwujudan korporasi: perbuatan-perbuatan dan sikap batin (state of mind) dari mereka yang mengendalikan sebuah perusahaan menurut hukum adalah perbuatanperbuatan dan sikap batin dari perusahaan itu sendiri).
Berdasarkan penjelasan di atas maka bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan usaha korporasi tersebut, maka unsur ”mens rea” yang ada dalam para individu tersebut dianggap sebagai unsur ‘mens rea” bagi perusahaan, sehingga korporasi harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam perusahaan sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi perusahaan.
Michael J. Allen yang juga dikutip oleh Dwidja Priyatno, dalam hal ini menyatakan bahwa:
“The corporation will only be liable where the person identified with it was acting within the scope pf his office: it will not be liable for acts which he did in his personal capacity”.
(Korporasi hanya akan bertanggungjawab jika orang diidentifikasi dengan korporasi, bertindak dalam ruang lingkup jabatannya: korporasi tidak akan bertanggungjawab atas tindakan-tindakan yang dilakukannya dalam kapasitas pribadinya).
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan untuk mempertanggungjawabkan suatu korporasi berdasarkan teori identifikasi setidaknya harus dipenuhi 2 (dua) syarat yaitu adanya orang yang diidentifikasi dengan korporasi dan perbuatan orang tersebut dilakukan dalam lingkup jabatannya.
Teori Organ (Alter Ego Theory).
Teori ini berbasis pada teori identifikasi, perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat senior diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Teori ini juga dikenal dengan teori alter ego (alter ego theory) atau teori organ yang dapat diartikan secara sempit maupun secara luas, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu:
Arti sempit (Inggris): hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, karena pejabat seniorlah yang merupakan otak atau pengambil keputusan atau kebijakan dalam korporasi, sehingga yang menentukan arah kegiatan korporasi adalah pejabat senior.
Arti luas (Amerika Serikat): tidak hanya pejabat senior/direktur saja, tetapi juga agen di bawahnya.
Korporasi merupakan entitas yang dibuat dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, korporasi dijalankan atau bertindak melalui pejabat senior atau agennya. Pejabat senior atau agen adalah individu yang menjadi directing mind atau otak dibalik kebijakan-kebijakan korporasi dalam menjalankan kegiatannya. Perbuatan dan sikap batin individu tersebut kemudian dihubungkan dengan korporasi.
Selama individu tersebut diberi wewenang untuk bertindak atas nama korporasi, maka perbuatan dan sikap batin individu tersebut merupakan perbuatan dan sikap batin dari korporasi, sehingga pertangungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana menentukan siapa yang menjadi directing mind dari sebuah korporasi. Apabila dilihat dari segi formal yuridis, yaitu melalui anggaran dasar korporasi, maka akan terlihat jelas siapa yang menjadi directing mind dari korporasi tersebut. Anggaran dasar tersebut berisi penunjukan pejabat-pejabat yang mengisi posisi tertentu berikut kewenangannya.
Lord Diplock mengemukakan bahwa pejabat senior adalah mereka-mereka yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan”.
Oleh karena itu, Lord Diplock, juga menyatakan bahwa dasar yang harus dipergunakan untuk mengidentifikasi para pribadi yang dapat dianggap sebagai orang yang mewakili korporasi adalah Akta Pendirian dan Anggaran Dasar korporasi atau hasil keputusan rapat umum pemegang saham yang dipercayakan untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan perusahaan.
Kenyataan dalam praktik operasional korporasi, pejabat senior yang secara formal yuridis mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan dalam korporasi ternyata berada di bawah pengaruh pihak yang secara faktual lebih memegang kendali, misalnya para pemegang saham (shareholders). Dengan demikian, dalam menentukan directing mind dari sebuah korporasi tidak cukup hanya dilihat dari segi formal yuridis saja, tetapi juga dari segi kenyataan dalam operasionalisasi korporasi. Hal ini adalah sangat penting, mengingat perbuatan dan sikap batin dari individu yang menjadi directing mind dapat dianggap sebagai perbuatan dan sikap batin dari korporasi.
Menurut Lord Morris, pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili/melambangkan pelaksana dari the directing mind and will of the company”. Sedangkan Lord Reid dalam perkara Tesco Supermarkets pada Tahun 1972 mengemukakan bahwa untuk tujuan hukum, para pejabat senior biasanya terdiri dari dewan direktur, direktur pelaksana dan pejabat-pejabat tinggi lainnya yang melaksanakan fungsi manajemen dan berbicara serta berbuat untuk perusahaan.
Namun demikian pandangan-pandangan tersebut mendapatkan tanggapan kritis, sebagaimana pandangan Lord Pearson yang menyatakan bahwa seorang manajer cabang tidak dipandang sebagai seorang pejabat pengendali karena pengawasan rincian-rincian operasi secara normal adalah bukan sebuah fungsi dari manajemen tingkat tinggi dan biasanya dilaksanakan oleh para karyawan di tingkatkan pimpinan kelompok (foreman), mandor (chargehands), inspektur (overlookers), para manajer toko di tingkat tertentu (floor managers) dan ”para manejer toko” (dalam pengertian ”toko (shop)” perpabrikan).
Demikian juga Lord Reid menyatakan bahwa sebuah perusahaan dapat dinyatakan bertanggung jawab secara pidana hanya atas tindakan-tindakan dari Board Of Direktur (BOD) yang melakukan fungsi-fungsi manajemen dan bertindak sebagai perusahaan. Dengan demikian tidak semua pegawai perusahaan yang bekerja berdasarkan perintah pejabat tinggi perusahaan dapat dianggap sebagai pejabat senior.
Teori agregation lahir dari ketidakpuasan atas teori identifikasi yang menyatakan pembebanan tanggungjawab korporasi diletakan kepada “high managerial agent”, atau otaknya korporasi atau pejabat senior korporasi sebagai directing mind korporasi. Sedangkan, teori agregation menyatakan bahwa untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi disyaratkan ada kombinasi perbuatan dan kesalahan dari sejumlah orang baik ia merupakan karyawan biasa maupun mereka yang bertindak sebagai pengurus korporasi. Menurut teori ini, semua perbuatan dan kesalahan dari beberapa orang yang terkait secara relevan dalam kepentingan jahat korporasi dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja.
Pembuktian Mens Rea Terdakwa korporasi (Doktrin Intra Vires).
Doktrin intra vires merupakan lawan atau kebalikan dari doktrin ultra vires. Secara sederhana pengertian intra vires adalah dalam kewenangan sedangkan ultra vires di luar kewenangan yang diatur dalam usaha perseroan pada Anggaran Dasar. Doktrin ultra vires menitikberatkan pada kewajiban direksi dalam mengurus perseroan wajib sesuai maksud, usaha dan tujuan perseroan sebagaimana diatur dalam anggaran dasar, misalnya perseroan tersebut berusaha di bidang perdagangan tidak boleh melakukan usaha di bidang pengeboran minyak yang tentunya hal tersebut terkait dengan perizinan yang wajib dipenuhi sebelum operasional. Apabila direksi melanggar ketentuan doktrin tersebut, maka direksi yang bersangkutan dapat diminta pertanggungjawaban secara pribadi. Sedangkan intra vires membatasi kewenangan direksi dalam bertindak yang mewaikili perseroan sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dalam anggaran dasar wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari dewan komisaris dan atau RUPS.
Berdasarkan doktrin intra vires, di mana direksi bertindak atas dasar mewaikili perseroan sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus, pegawai atau karyawan korporasi merupaka perbuatan di dalam anggaran dasar dari korporasi tersebut. Pembuktian Perbuatan Materiil Directing Mind korporasi.
Pembuktian korporasi sebagai Pihak yang memperoleh keuntungan.
Korporasi merupakan entitas hukum privat yang secara hukum dimungkinkan untuk memperoleh atau mempunyai kekayaan. Dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, maka perlu dibuktikan bahwa korporasi memperoleh keuntungan yang merupakan hasil tindak pidana yang dilakukannya. Laporan keuangan, laporan laba rugi, dan transaksi keuangan yang dilakukan menggunakan nama korporasi atau atas nama korporasi merupakan alat bukti/barang bukti dalam membuktikan bahwa korporasi sebagai pihak yang memperoleh keuntungan.
Pemidanaan Terhadap Terdakwa korporasi. Dalam kaitan penerapan sanksi pidana Clinard dan Yeager sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno, mengemukakan kriteria dapat diterapkannya sanksi pidana terhadap korporasi, sebagai berikut:
The degree of loss the public (derajat kerugian terhadap publik);
The lever of complicity by high corporate managers (tingkat keterlibatan oleh jajaran manajer korporasi);
The duration of the violation (lamanya pelanggaran);
The frequency of the violation by the corporation (frekuensi pelanggaran oleh pelanggaran);
Evidence of intent to violate (alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran);
Evidence of extortion, as in bribery cases (alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus-kasus suap);
The degree of notoriety engendered by the media (derajad pengetahuan publik tentang hal-hal negatif yang ditimbulkan pemberitaan media);
Precedent in law (Yurisprudensi);
The history of serius, violation the coporation (riwayat pelanggaran-pelanggaran serius oleh korporasi);
Deterence potential (kemungkinan pencegahan);
The degree of cooperation evinced by the corporation (derajad kerjasama korporasi yang ditunjukan oleh korporasi).
Muladi sebagaimana dikutip Dwidja Priyatno menyatakan pula bahwa, pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executing officer) yang memiliki kekuasaan untuk memutus (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh korporasi tersebut.
Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perseorangan. Berdasarkan uraian di atas, hakekatnya dasar pemidanaan korporasi dapat dilihat dari sisi pelaku tindak pidana adalah korporasi itu sendiri dan dilihat dari sisi akibat tindak pidana adalah (1) menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, serta (2) keuntungan. (Syam)