Kolom Zainal Bintang
Peringatan ulang tahun ke 75 Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 2020 ditandai dua kegiatan serupa tapi tak sama. Acara rutin yang diselenggarakan sebagai tradisi negara berlangsung pada tanggal 17 Agustus 2020 di Istana Merdeka. Keesokan harinya 18 Agustus diadakan pula acara yang sama di Tugu Proklamasi, Pegangsaan, Jakarta Pusat. Penyelenggaranya adalah Deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia) yang dibentuk Din Syamsuddin, Gatot Nurmantiyo dan Rochmat Wahab bersama sejumlah tokoh ilmuawan, agamawan, budayawan, aktifis lintas agama, profesi, gender dan usia. Hakekat dibalik kelahiran KAMI nampaknya lebih banyak terkait dengan kekecewaan atas sinalemen terjadinya kemunduran kehidupan demokrasi beberapa belakangan tahun belakangan ini.
Berbicara kemunduran demokrasi di dunia dewasa ini, perlu membaca laporan Freedom in the World 2020. Lembaga tersebut memberikan peringkat terhadap 195 negara, dan menyatakan bahwa 83 dari negara tersebut sebagai “bebas”, 63 negara sebagai “bebas sebagian”, dan 49 negara sebagai “tidak bebas”. Sementara di banyak negara lainnya, orang-orang turun ke jalan dan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada. Mereka menuntut perubahan dan perbaikan agar negara menjadi lebih baik dan lebih demokratis. Gerakan-gerakan demonstrasi antara lain terjadi di Hong Kong, Aljazair, Bolivia, Chili, Ethiopia, Indonesia, Irak, Iran, Lebanon, dan Sudan.
Gerakan-gerakan ini sering kali bertentangan dengan kepentingan kekuasaan yang telah mengakar kuat, dan gagal menghasilkan perubahan yang signifikan, tulis laporan itu. Jumlah keseluruhan negara dengan status sebagai negara bebas telah menurun sebesar tiga persen dalam dekade terakhir. Indeks ini memperhitungkan berbagai faktor seperti fungsi pemerintah, transparansi, supremasi hukum, pluralisme serta kebebasan berekspresi dan berkeyakinan.
Laporan tahun ini menunjukkan adanya penurunan yang tajam dalam skala global terkait komitmen pemerintah terhadap pluralisme. Kelompok etnis, agama, dan minoritas lainnya telah banyak mengalami persekusi di negara-negara demokrasi dan otoriter. Laporan tersebut juga menuliskan menurunnya kebebasan di negara-negara demokrasi. Adanya penurunan kebebasan di sejumlah negara yang terkenal demokratis.
Apa yang dilaporkan lembaga think tank Freedom House tahun 2020, cukup suram : “Demokrasi dan pluralisme sedang diserang. Diktator berupaya keras membasmi perbedaan pendapat yang tersisa dan menyebarkan pengaruh berbahaya ke sudut-sudut baru di dunia”.
Lembaga ini menyoroti menurunnya demokrasi di berbagai penjuru dunia, termasuk AS dan India. Freedom House yang merupakan lembaga swadaya masyarakat yang didanai pemerintah Amerika Serikat, menyoroti tanda bahaya atas memburuknya indeks kebebasan di negara-negara otoriter dan demokratis.
Kaburnya koridor kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif termasuk di Indonesia paska reformasi, menimbulkan ketimpangan yang melemahkan check and balances di parlemen. Perwujudan demokrasi tidak bekerja sebagaimana teori “trias politica” hasil rumusan Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Berdasarkan sejumlah kajian, dikatakan sistem pemilu multipartai di Indonesia yang dilaksanakan secara langsung sejak tahun 2004, mengakibatkan persebaran kekuasaan kepada banyak partai. Mendorong partai mengambil langkah berkoalisi yang membuka ruang kompromi yang berujung pragmatisme.
Jika mau kuat di parlemen, maka eksekutif (presiden) dipaksa membangun mitra koalisi partai pendukung. Meskipun sistem presidensial membuat posisi politik presiden cukup kuat, namun karena bukan ketua umum partai, mau tidak mau Jokowi dituntut untuk membayar “ongkos” koalisi yang lebih mahal.
Komposisi menteri kabinet “pelangi” saat ini yang warna warni, banyak dikritik karena dinilai mengabaikan kompetensi. Itu adalah refleksi fragmentasi kekuatan politik sistem multi partai. Presiden tidak memiliki kekuatan komando tunggal. Berbeda dengan Soeharto yang mengendalikan penuh komando Golkar di tangannya.
Selama 32 tahun pemerintahan Orba (Orde Baru). Golkar sebagai kendaraan politik pemerintah memenangkan enam kali pemilu berturut – turut dengan perolehan suara masif diatas 70 persen. Menempatkannya sebagai peraih suara terbanyak yang disebut “single mayority” (mayoritas tunggal). Sementara dua partai kontestan lainnya yakni, PPP dan PDI hanya dijadikan pelengkap penderita demokratisasi.
Tragedi kabinet “pelangi” minim kompetensi sebagai ekses dari sistem pemilu multipartai yang dialami SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) dua priode (2004-2014), adalah contoh soal betapa lemahnya “bargaining power” hasil pemilu multi partai. Karena hanya mampu melahirkan “simple mayority” (mayoritas sederhana) melalui praktik “jual-beli” suara di pasar koalisi.
Ujung-ujungnya SBY tidak berhasil membuat program terobosan sebagai legasi bangsa. Meskipun dia berposisi sebagai ketua umum partai, akan tetapi koalisi memaksanya menari mengikuti irama gendang mereka yang yang sarat dengan “pemerasan” politik. Akibatnya dia kehilangan banyak waktu untuk berkompromi banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat.
Kedigdayaan legislator sebagai kelompok penekan eksekutif, membuat mereka lupa daratan, terjebak di dalam perburuan kekuasaan politik dan materiel. Biaya kontestasi politik yang mahal (money politic) untuk menjadi legislator, memaksa mereka mendewakan budaya transaksional, untuk mengembalikan biaya investasi dan memupuk sumber daya investasi baru untuk kontestasi ke depannya.
Fungsi check and balances digeser ke nomor dua. Tidak mengherankan jika akhirnya yang terjadi adalah kendornya komitmen aktor politik di parlemen. Sejumlah kajian menyebutkan melalui jalan reformasi, bangsa besar ini terjebak dalam lingkaran setan kejahatan regulasi dan kejahatan korupsi.
Apa yang menimpa dunia perpolitikan Indonesia paska reformasi? Ketika membuka kiriman pesan WhatsApp dari teman seniman teater yang kesohor, dia menganalogikan bangsa Indonesia kini bagaikan sedang terjebak di dalam perangkap “nasib” buruk seorang raja dalam legenda mitologi Yunani yang bernama Sisifus (Sisiphus).
Alkisah, tersebab oleh sebuah pembangkangan, dewa Zeus menghukum Sisifus untuk terus-menerus mendorong sebuah bongkahan batu besar ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan sedikit saat di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke kaki bukit. Dan setelah itu batu itupun harus didorongnya kembali. Demikian berulang-ulang.
Sistem politik hasil reformasi dianalogikan mengkerangkeng kekuatan politik (koalisi) di parlemen, sehingga menjalani “penderitaan” serupa kutukan nasib buruk Sisifus. Jika Sisifus tak berkutik oleh tekanan hukuman Zeus sang dewa. Koalisi di parlemen ditengarai masyarakat juga tidak berdaya dibawah tekanan semacam dewa lain yang bernama “Oligarkis”.
Sang oligarkis itu bisa sangat powerfull karena di dalam tubuhnya menyatu perpaduan kekuatan politik dan kekuatan pendanaan (konglomerat). Meskipun tanpa bentuk nyata oligarikis telah menjebak bangsa ke dalam perangkap politik “lari berputar”. Mereka berhasil membangun pusat kekuasaan tanpa alamat dan kartu nama. Mempunyai kekuatan lobi yang mengalahkan partai politik formal. Mengatur jalannya pemerintahan bahkan arah negara.
Tragisnya karena berhasil mendegradasi fungsi aktor “trias politica” turun ke tingkat yang rendah dan nista : menjadi instrument legitimasi regulasi yang menjauh dari cita-cita proklamsi.
Penulis, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya