Maminasata: Gowa Menatap Ke Depan

0
1184
- Advertisement -

Oleh: Hafid Abbas

Guru Besar Universitas Negeri Jakarta dan Inisiator Penganugerahan Doktor Kehormatan kepada Presiden Nelson Mandela dari UNHAS  

Pada 27 Februari 2024 lalu, Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin, mengungkapkan hasil pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka. Seusai pertemuan itu, Bahtiar yang didampingi oleh jajaran forum koordinasi pimpinan daerah (forkompimda) dan Walikota Makassar, Bupati Gowa, Maros, Takalar dan Pangkep mengungkapkan bahwa Presiden akan mencanangkan  Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar yang akan terintegrasi menjadi satu megapolitan Mamminasata seperti halnya Shenzen untuk menyangga keberadaan IKN.

Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa Gowa, dan Takalar) sebagai pintu gerbang perekonomian Indonesia Timur menjadi pusat kota raksasa baru seperti halnya kota-kota besar lainnya di dunia yang menyatu dengan kota-kota sekitarnya sehingga menjadi kawasan terpadu dan menjadi pusat kekuatan ekonomi dan pertumbuhan negara itu.

Kata “mamminasata” berasalal dari akar kata “minasa” yang secara leksikal, dalam bahasa Bugis-Makassar, berarti ikhtiar luhur, tekad mulia, harapan, dst. Akar kata ini sering dipadukan dengan kata ”upe atau upa” (minasa upe) yang berarti ikhtiar mencapai keberuntungan.   Jika kata dasar itu mendapat awalan “mam” maka menjadi kata kerja yang bermakna berikhtiar, dan akhiran “ta” adalah kata ganti “kita” (possessive pronoun) yang berarti ikhtiar bersama menuju pencapaian sebuah kebesaran bersama yang akan dicapai melalui tekad dan usaha bersama pula.

Kesultanan Gowa di Masa Lalu

- Advertisement -

Di masa lalu, Gowa pernah berjaya sebagai salah satu kekaisaran maritim terbesar di dunia selama 369 tahun (1320-1669), menguasai sebagian besar Sulawesi,  Maluku dan Nusa Tenggara, hingga ke pesisir timur Kalimantan hingga wilayah utara, kini Malaysia. Namun, akibat kekalahannya dalam Perang Makassar pada 1666-1669 mengakibatkan lepasnya sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Gowa di luar Sulawesi ke tangan VOC. Meski demikian, sebelum menjadi bagian NKRI, Gowa tetap bertahan sebagai negara merdeka hingga awal abad ke-20, baru berakhir ketika pemerintahan kolonial Belanda mengalahkan Gowa dalam ekspedisi Sulawesi Selatan dan menjadikannya sebagai negara jajahan (Perlas, 1996).

Pertanyaannya, apa yang menyebabkan maju dan mundurnya kesultanan Gowa di masa lalu yang bahkan pernah berjaya selama ratusan tahun.

Arnold Toynbee seorang sejarahwan terkemuka dunia berkebangsaan Inggeris menulis 12 jilid buku A Study of History yang diterbitkan antara 1934-1961. Ia mengkaji jatuh bangunnya 23 peradaban besar di dunia dalam rentang waktu 5000 tahun. Kemajuan atau kehancuran suatu peradaban menurut Toynbee bergantung pada kemampuan para elit-elit intelektualnya (dozens of eminent scholars) menghadapi tantangan zaman yang ada. Dari 23 peradaban besar itu, 22 hancur bukan karena serangan dari luar tetapi adanya pelapukan dan pembusukan dari dalam yang diistilahkan “civilizations die from suicide, not by murder.” Kehancuran itu terjadi ketika elit-elitnya kehilangan pegangan moral, ketika elit-elitnya bersekongkol menjadi benalu bagi bangsanya sendiri, mengeksploitasi kepentingan umum demi kepentingan kelompoknya. Misalnya, penyalahgunaan bantuan sosial.

Dari berbagai referensi ilmiah yang menelaah perjalanan sejarah maju mundurnya satu bangsa atau peradaban dalam rentang waktu lebih 5000 tahun, ternyata ada empat penyebabnya.

Pertama, satu bangsa akan punah atau hancur apabila tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan zaman. Dalam khasanah masyarakat Bugis Makassar dikenal ungkapan Kemai-kemai biseannu rampe, anjoengki akparek gauk baji, pangngukrangi maknannungang*. Dimana pun perahumu bersandar (dimana pun anda berada), di sanalah engkau berbuat kebaikan (legacy) yang akan dikenang sepanjang masa.

Perlas dalam bukunya The Bugis menguraikan (1996)  bahwa pada akhir abad pertengahan hingga awal abad ke 16 terdapat banyak perusahaan Denmark, India, Belanda dan Francis beroperasi di Makassar. Bahkan pada 1607, Sultan Alauddin Raja Gowa menyatakan: my country Gowa stands open to all nations and what I have is for you as well as for Portugese.  Negeri saya Gowa terbuka buat semua bangsa dan apa yang saya miliki adalah bagi semua termasuk Portugis. Sultan Alauddin dapat tampil sebagai kepala pemerintahan dengan kemampuan diplomasi yang dikagumi oleh masyarakat internasional di kala itu karena ia fasih berbahasa Portugis, Belanda ataupun bahasa-bahasa Eropah lainnya.

Menuju terwujudnya megapolitan “Mamminasata”,  nilai-nilai kepemimpinan Sultan Alauddin tampaknya perlu dikaji dan diadopsi sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.

Kedua, satu bangsa atau peradaban akan hancur apabila mereka tidak mampu menggerakkan dirinya untuk mencapai tujuannya (goal attainment). Jika megapolitan “Mamminasata” akan menjadi pusat pertumbuhan dan pintu gerbang perekonomian Indonesia Timur, maka ikhtiar kolektif itu haruslah menyatukan tekad kolektif masyarakat Mamminasata atau masyarakat Sulawesi Selatan untuk mewujudkannya. Gowa misalnya, yang menegaskan visnya menuju “terwujudnya masyarakat yang berkualitas, mandiri, dan berdaya saing dengan tata kelola pemerintahan yang baik” haruslah menyatu dan melebur ke dalam satu ikhtiar kolektif semua kabupatan dan kota di lingkup Mamminasata itu.

Seorang ilmuwan terkemuka di abad ini bernama Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (1996) menguraikan bahwa ikhtiar kolektif itu dapat terwujud apabila ruh kehidupan sosialnya terawat. Sebaliknya  satu masyarakat atau satu bangsa akan hancur apabila tidak ada keadilan, tidak ada ketulusan (honesty), tidak ada kerbukaan (openness), tidak ada sense of duty to others – perasaan terpanggil untuk berbuat terbaik bagi yang lain, dan tidak ada kebersamaan dan kerjasama (synergy).  Jika dimensi-dimensi ini tidak ada maka akan dengan sendirinya kehidupan masyakarat itu mati atau punah.

Gowa bersama Makassar, Maros, dan Takalar harus menyatukan visi kolektifnya atau  “minasanna” dengan menghidupkan ruh kehidupan sosialnya. Sesuai arahan Presiden, kelihatannya, Gubernur bersama para Bupati dan unsur forkompimdanya perlu berkunjung ke Shenzen atau kota-kota lain untuk menyiapkan blueprint-nya sebagai rencana induk pengembangan Mamminata ke depan.

Ketiga, satu bangsa atau peradaban akan punah apabila mereka tidak mampu bersinergi, bahu membahu untuk maju bersama. Seorang tokoh, sufi, ulama besar dunia pada zamannya, asal Gowa, Syech Yusuf, Tuanta Salamaka ri Gowa, adalah contoh atau teladan untuk bersinergi yang telah menyatukan hati warga Afrika Selatan. Pada salah satu pertemuan saya dengan Dullah Omar (Menteri Perhubungan Afrika Selatan) di ruang kerjanya di Pretoria pada awal 2002, dituturkan bahwa Syech Yusuf adalah sumber inspirasi perjuangan kami warga kulit hitam melawan penindasan razim apartheid kulit putih. Alasannya adalah  Syech Yusuf bukan warga Afrika Selatan tetapi mengapa ia rela berjuang bersama kami orang yang berbeda latar belakang suku, budaya dan bangsa. Jika kami menentang apartheid wajar karena demi kepentingan kami warga kulit hitam sendiri.

Berikutnya, Syech Yusuf rela berjuang bukan di tanah kelahirannya karena ia berasal dari Kesultanan Gowa, sementara kami wajar jika berjuang di tanah air kami sendiri.

Selanjutnya, jika saya, Mandela, Desmod Tutu dan para perjuang anti-apartheid lainnya telah dipenjara puluhan tahun, tapi itu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan pengorbanan Syech Yusuf karena kami masih hidup. Syech Yusuf telah mengorbankan jiwa raganya, meninggal dalam perjuangannya membela kami warga kulit hitam..

Alasan terakhir, perjuangan Syech Yusuf tidak pernah ia nikmati hasilnya karena ia telah tiada. Berbeda dengan Mandela dan tokoh-tokoh anti apartheid sudah jadi Menteri, dan Mandela sendiri menjadi Presiden dan juga telah menerima Hadiah Nobel Perdamaian, dst.

Atas kebesaran perjuangan Syech Yusuf itulah, ia diberi anugerah Pahlawan Nasional Afrika Selatan, dan juga Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto.

Dengan ke empat akasan itu, kami bertiga Rober Evan (Direktur Plowshare Institute, AS), seorang Nobel Peace Nominee, Radi A Gany (Rektor UNHAS), dan saya sendiri (Dirjen HAM RI) menginisiasi penganugerahan Doktor Kehormatan kepada Nelson Mandela dari UNHAS yang dilaksanakan pada 11 September 2005.

Teakhir, uatu bangsa atau peradaban akan punah apabila mereka tidak mampu merawat nilai-nilai spiritual dan perinsip-perinsip dasar kehidupannya. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai universal itu mengakar pada Pancasila.

Demikianlah empat faktor utama yang terkandung dalam lintasan perjalanan sejarah Gowa di masa lalu, dan kini semangat itu muncul kembali menatap ke depan dalam koridor ”Mamminasatta” bagi negeri tercinta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here