PINISI.co.id- Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian menegaskan terkait dengan masalah penanganan gempa dan bencana tsunami, Pemda yang memegang kunci. Mulai dari perencanaan kesiapsiagaan sampai dengan reaksi terhadap gempa, peringatan sampa dalam mengambil keputusan dan menyebarluaskan serta proses evakuasi, semua sudah ada dalam aturan. Tinggal bagaimana Pemda mengeksekusinya. Salah satu yang mesti diperhatikan adalah soal peringatan dini.
“Mulai dari informasi rawan bencana, pelayanan, pencegahan kesiapsiagaan, pelayanan, penyelamatan evakuasi korban bencana, ini peraturan pemerintahnya sudah disiapkan, kemudian regulasi lanjutan dari Permendagri sudah ada, Problemnya kami kira yang pertama adalah mengenai sistem peringatan dini tersebut, apakah dari pusat sistemnya teknologinya atau tiap-tiap daerah melakukan inovasi masing-masing,” kata Mendagri saat memberi arahan dalam Rakor Melalui Video Conference terkait dengan ”Pembahasan Implementasi Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami” di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Senin (10/8/2020).
Permasalahan kedua, lanjut Mendagri terkait dengan sistem untuk evakuasinya. Jadi sistem evakuasi ini begitu diberikan peringatan dini, daerah mempersiapkan langkah-langkah untuk evakuasi. Termasuk pengadan shelter, tempat evakuasi di daerah ketinggian di tiap-tiap daerah.
“Nah ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing. Kemudian yang ketiga adalah mengenai peralatan tadi, ini problema memang untuk masalah perawat, pemeliharaan dan perawatan karena biaya cukup tinggi, akhirnya up and down ketika ada masalah baru kemudian ramai-ramai dikerjakan. Begitu selesai masalahnya muncul isu-isu lain yang lebih penting kemudian menjadi terlupakan, ini tidak ada konsistensi, disamping biaya perawatannya cukup tinggi, ” tutur Mendagri.
Yang berikutnya lagi terkait dengan persoalan SDM untuk pelatihan khusus. Terutama yang di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Ini juga sama, konsistensi yang belum terjadi. Khususnya masalah anggaran. Permasalahan terakhir, terkait dengan masalah kapasitas fiskal.
Diharapkan semua daerah yang rawan gempa ini bisa membangun sistem evakuasi dan sistem respon. Termasuk infrastruktur seperti shelter dan tempat-tempat evakuasi di daerah ketinggian.
“Karena rata-rata daerah-daerah pinggiran di Sumatera bagian timur kemudian, Jawa bagian selatan, sampai dengan ke Papua itu banyak kapasitas fiskalnya rendah. Ada daerah yang kapasitas fiskalnya tinggi ditandai dengan pendapatan asli daerahnya (PAD) yang lebih kuat daripada transfer pusat, dua sumber anggaran dari daerah itulah yang utama adalah dari transfer pusat dan PAD. Nah PAD-nya tinggi mereka bisa membangun sistem itu, diadakan, tapi yang kapasitasnya rendah juga banyak. Artinya sangat tergantung dari transfer pusat kehidupan daerah tersebut,” katanya.
Karenanya, kata Mendagri, untuk yang kapasitasnya rendah, mesti melihat skala prioritas. Ketika prioritasnya masalah pembangunan, ekonomi, pendidikan dan kesehatan, covid-19 dan lain-lain, mereka tidak memiliki kapasitas fiskal untuk pembangunan sistem evakuasi dan lain-lain.
“Nah untuk itulah dari Kemendagri, agar diberikan dana alokasi khusus fisik atau DAK fisik dengan demikian daerah-daerah yang kapasitas fiskalnya rendah ini mereka memiliki kemampuan untuk melakukan pengadaan infrastruktur dan peralatan-peralatan tadi. Ini menjadi hambatan yang perlu mohon dukungan dari bapak Menko untuk mengomunikasikan dengan Kemenkeu agar DAK fisik diberikan kepada daerah-daerah yang kapasitasnya fiskalnya rendah, sehingga mereka bisa melaksanakan perawatan, pengadaan, termasuk untuk pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas kemampuan SDM-nya,” ujarnya. [Syamsul Bahri]