Menjadi Masyarakat Urban Tidak Mengubah Kebiasaan

0
1014
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

LELE Bulu Te lele Abiasang/gunung bisa berpindah, kebiasaan tidak.

Begitu kuat dan konservatifnya ungkapan perumpamaan ini.

Saya ingin menyebut hal-hal yang positifnya saja dan mengabaikan hal keburukannya.

Ada tiga hal kebaikan dari masyarakat urban/dari desa (kampung) pindah bermukim ke kota.

- Advertisement -

Pengertian itu ialah kota provinsi dan Ibukota negara, Jakarta.

Apa yang tidak berubah ?

PERTAMA adalah penggunaan bahasa dari mana asal daerah kelahiran dan tumbuh jadi dewasa orang kota itu.

Kedua adalah konsumsi dan selera makanannya.

Lalu yang ke tiga adalah akhlak/perilaku hidup bergotong royong saling tolong menolong.

Disebut Pacce di komunitas Makassar dan Pesse di komunitas Bugis.

Pacce dan Pesse ini adalah rasa kepedulian sosial antara sesama terutama di lingkungan kerabat dan di tempat tinggal.

Dapat ikut merasakan kepedihan/kesusahan orang lain dan berbagi apa yang dipunyai untuk kebutuhan orang lain itu.

Hidup di Kota Berselera Kampung

LEBIH separuh umur saya hidupnya di kota.

Saya tetap menggunakan bahasa daerah untuk menyapa sesama dari etnis Bugis Makassar, terutama di komunitas Bugis Soppeng daerah kelahiran saya.

Setiap saat mendapat kiriman dari kampung berupa ikan kering: sunu, gabus, tarawani, teri serta rontok (udang kecil) yang diracik dengan jahe dan lombok jadi sambel.

Tak kertinggalan dengan abon ikan gabus namanya bajabu, gula merah aren, pangi, beras pulut merah dan beras jagung pulut namanya lelu.

Dengan menu-menu itu saya menciptakan Komunitas Nasu Nasu Ogi bagi warga yang merindukan itu.

Bahasa dan Budaya

TRADISI budaya Perkawinan, Aqika, Kelahiran, Kematian, Bercocok Tanam dapat ditemui ditempat dimana warga komunitas Bugis Makassar bermukim.

Bahasa, makanan dan tradisi itu tetap tepelihara seperti yang saya temui langsung.

Mereka yang berbaik hati ini yang selalu
mengingat saya dan mengirimkan dan kadang mengantarkannya sendiri menu itu.

Mereka itu adalah Andi Arisa Mustomo, Daeng Aji Jafar, Andi Jamaro, Aprial Hapsah, Amiruddin AL dan Andi Sjamsul Zakaria.

Dengan ketersediaan menu itu, kemudian saya memperkenalkan Komunitas Nasu Nasu Ogi bagi mereka yang merindukan makanan itu.

Budaya Tradisi di Tanah Bugis Makassar

PENGGUNAAN bahasa daerah di komunitas Bugis Makassar terpadu dengan beberapa tradisi yang dihidupkan di beberpa daerah perantauan.

Saya menemukan tradasi ini di beberapa daerah perantauan seperti di Dili Timtim, Kupang, Jayapura, Sumbawa, Lombok, Ambon, dan Ternate.

Kemudian di Samarinda, Kutai Kertanegara, Balikpapan, Paser, Bontang, Tarakan, Banjarmasin, Pontianak dan Sambas di Kalimantan.

Kehidupan serupa juga ditemukan di daerah bekas kerajaan Pasai Aceh, Kepulaun Nias, Kepulauan Riau, Jambi, Pelembang, Minangkabau, Bangka Belitung dan Lampung.

Kemudian di Banten, Cirebon, Madura, Bali dan Pulau Jawa pada umumnya.

Termasuk di negeri seberang Malaya: Johor dan Malaka.

Di semua daerah itu, bukan hanya dengan pelestarian bahasa dan budaya tetapi memiliki kaitan sejarah hubungan emosional dan genetis/kawin campuran (blood merried) dengan warga asli setempat.

Menarik ditelusuri lebih mendalam dan dituliskan menjadi buku: Jejak Hubungan Genetis Bugis Makassar Dengan Daerah terebut.

Massaro Mase

PERILAKU massaro mase dalam budaya Bugis ini begitu istimewa dalam kehidupan bermasyarakat.

Saro Mase, adalah keikhlasan mengulurkan tangan bantuan secara moril dan materil kepada sesama tanpa menunggu diminta dan meminta imbalan jasa.

Jasa moril berwujud tenaga, pikiran dan kewenangan. Sementara jasa materil yang berwujud materi kebendaan.

Budaya inilah yang membuat perantau Bugis Makassar cepat beradaptasi dan diterima diperlakukan sebagai kerabat keluarga di daerah rantaunya.

Beranda Inspirasi Ciliwung 22 Desember 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here