Menjinakkan dan Mensucikan Kekuasaan

0
1084
- Advertisement -

Kolom Arfendi Arif

Undang-Undang Cipta Kerja menjadi permasalahan baru kegaduhan di negara kita. Kegagalan pemerintah dan DPR mengkomunikasikan produk perundang-undangan yang dikatakan mampu mensejahterakan rakyat telah menimbulkan gelombang demontrasi penolakan masyarakat. Ini merupakan reaksi paling keras yang kedua dilakukan masyarakat selama tahun 2020 ini  setelah UU KPK beberapa waktu lalu

Dalam perspektif politik adanya perlawanan masyarakat terhadap pemerintah merupakan gambaran ketidakpercayaan kepada penguasa atau pemerintah. Dalam hal ini masyarakat menilai bahwa mandat kekuasaan yang diberikan tidak dijalankan sesuai amanah dan harapan yang diberikan rakyat.
 

Memang kekuasaan adalah sebuah milik–kalau dimisalkan sebuah barang — mempunyai kekuatan yang istimewa, membuka banyak keuntungan baik secara material, finansial maupun non-material seperti kehormatan, wibawa, dignity dan kedigdayaan.

Dalam perspektif kemanusiaan kekuasaan potensial digunakan untuk hal yang bersifat kebajikan. Dalam sejarah, kekuasaan dapat dilihat digunakan untuk membangun peradaban besar seperti ilmu pengetahuan, teknologi, industri, dan banyak lagi. Namun, sejarah juga menunjukkan kekuasaan menyebabkan terjadinya hal yang destruktif seperti  pertumpahan darah, penindasan, kezaliman, pembunuhan, perang dan penghancuran. Artinya, kekuasaan juga melahirkan banyak tragedi kemanusiaan  yang memilukan.

Dalam politik sekarang ini kekuasaan menjadi rebutan di antara partai politik. Rakyat hanya menjadi obyek untuk mendapat dukungan suara dengan berbagai janji dalam masa kampanye. Setelah kekuasaan diperoleh dengan klaim demokratis, partai pemenang pemilu  memegang pemerintahan dan  berbagai jabatan penting  di birokrasi maupun berbagai lembaga negara lainnya. Sedangkan para politisi duduk di parlemen menjadi anggota dewan.

- Advertisement -

Setelah kekuasaan diperoleh biasanya janji kampanye menjadi  abai. Jika pada masa kampanye politisi atau aktivis partai  sering mengunjungi  rakyat, setelah menjabat rakyat mulai terlupakan dan dianggap tidak terlalu penting lagi dikunjungi.

Para politisi dan para kadernya lebih banyak disibukkan untuk mengisi pos-pos penting di pemerintahan baik sebagai menteri, wakil menteri, direktur BUMN, eselon tertinggi di kementerian, komisaris perusahaan, dan tentunya juga jabatan di kepolisian, ABRI dengan orang orang yang dianggap dekat dan sepaham. Di sini termasuk lembaga-lembaga pemerintah dan staf ahli diisi figur yang tentunya dianggap dan dipercaya oleh  partai yang memerintah.

Dengan demikin maka upaya untuk mendapatkan kekuasaan menjadi sentral dan target utama dalam ajang perpolitikan. Sedangkan nasib rakyat yang selalu digemborkan oleh partai untuk diperbaiki hanya strategi untuk mendulang suara saja.

Kekuasaan yang bagaikan magnit menyihir politisi untuk menggenggamnya, begitu sulit untuk dilepaskan. Kalaulah kekuasaan itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tentu tidaklah masalah. Tetapi, dalam dunia politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan, selalu dipertahankan bagaimanapun caranya. Dengan demikian sumber-sumber finansial yang diperoleh melalui berbagai kemudahan dengan kekuasaan yang dipegang akan dimanfaatkan  untuk memobilisasi mempertahankan kekuasaan. Di antaranya untuk membiayai pencitraan, mengumpulkan dana untuk kampanye, membiayai public relation dan perekrutan kaum intelektual dan pakar untuk memberikan justifikasi atau pembenaran terhadap kebijakan elit partai yang memerintah dan partai penguasa. Yang menjadi model sekarang ini di antaranya membiayai lembaga survei untuk nenciptakan opini positif terhadap partai dan kebijakan pemerintah.

Kekuasaan yang sejatinya bersumber dari rakyat –dalam perspektif demokrasi — seharusnya dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Namun, dalam politik demokrasi ternyata kekuasaan lebih diutamakan untuk kepentingan kelompok, golongan sendiri dan para pendukung, dan semua ini  merupakan  usaha untuk melestarikan kekuasaan.

Kekuasaan yang tidak diorientasikan untuk kebajikan dan tidak diabdikan untuk rakyat jelas merupakan sebuah penyimpangan. Problem kekuasaan dengan visi demokrasi adalah pandangan yang dominan bersifat keduniawiaan, immanence atau untuk  diri sendiri. Salah satu kelemahan sistem demokrasi secara filosofis adalah pertanggungjawaban hanya kepada manusia. Dan pertanggungjawaban kepada manusia cenderung untuk disalahgunakan. Karena itu, dalam sistem demokrasi rasanya sulit untuk melahirkan sebuah kekuasaan yang bisa membebaskan  diri dari nafsu egoisme manusia,karena asas pertanggungjawabannya pada makhluk yang setara.

Menurut Prof Dr. Amien Rais, kekuasaan yang hanya bertumpu pada manusia hanya akan melahirkan kecenderungan gila kekuasaan. Bukan lagi keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat dan persamaan di antara manusia yang  dipentingkan, melainkan pasti melakukan ketidakadilan, penindasan yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat (Kata pengantar M Amin Rais untuk buku Khilafah dan Kerajaan, Mizan, Bandung, 1984 hal. 24-25).

Konsep kekuasaan yang mendasarkan pada hal yang bersifat transendence adalah alternatif untuk “mensucikan “dan “menjinakan” kekuasaan. Dalam konsep ini — seperti yang terdapat dalam Islam, misalnya — bahwa kekuasaan atau kedaulatan itu adalah milik Allah, bukan milik manusia. Dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 83 Allah berfirman, ” Di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. Surat al-Mulk ayat 1 “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dalam surat Yunus ayat 65 ” Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah  Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Dalam teori politik Islam kedaulatan memang diberikan kepada manusia, tetapi tidak boleh menggunakan  dengan sekendak hati. Ada peraturan-peraturan Tuhan yang harus dipatuhi, ada norma dan nilai yang wajib ditaati. Kedaulatan manusia itu  tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Artinya, kedaulatan itu terbatas di bawah pengawasan Tuhan ( Amien Rais, ibid hal. 23-24).

Menurut Amien Rais, suatu tugas apapun hanya akan berhasil bila dipertanggungjawabkan di hadapan suatu instansi yang lebih tinggi. Jika kita bertanggungjawab kepada Allah, tidak saja kita akan menjadi dewasa penuh, melainkan kita juga akan melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh. Ada moral obligation yang sangat kuat bahwa tugas yang kita pikul harus berhasil secara optimal dengan hasil yang baik.

Sebuah contoh terbaik dalam sejarah di mana kekuasaan benar-benar dipertanggungjawabkan kepada Allah adalah pemerintahan Khulafaur Rasyidin, yaitu pemerintahan sesudah wafatnya  Nabi Muhammad. Pemerintahan yang berlangsung selama 30 tahun dari tahun 11 hijrah hingga 40 Hijrah (632 M -660 M) dijalankan  dengan adil, penuh tanggung jawab, dan mampu dirasakan umat kesejahteraannya, keamanannya dan ketentramannya.

Penguasa Khulafaur Rasyidin seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk Allah, tidak terpedaya dengan kekuasaan, harta, jabatan maupun pangkat. Kekuasaan tidak ada nilainya bagi mereka, kecuali hanya untuk mencari keridhaan Allah digunakan untuk mensejahterakan, membahagiakan, dan menolong rakyat. Karena itulah pemerintahan mereka berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dengan baik yang dirasakan oleh rakyat. Mereka hidup sederhana layaknya rakyat biasa. Tidak sedikitpun mencerminkan bahwa mereka adalah penguasa atau raja yang memiliki perlakuan dan pelayanan super istimewa.

Model kekuasaan Khulafaur Rasyidin adalah model kekuasaan Tauhid, kekuasaan moral atau akhlakul kharimah. Dengan keyakinan Tauhid yang kuat, melahirkan perbuatan akhlak yang mulia dan pancarannya menjalankan amanah berbuat adil, sejahtera, dan menolong rakyat yang dipimpinnya mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Kekuasaan mereka jinakkan dan tundukkan sehingga tidak berdaya menggoda dirinya. Allahu ‘Alam.

Penulis, adalah pegiat ilmu keislaman, pecinta buku dan penulis buku. Tinggal di desa Bojong Nangka, Tangerang
       
       
       
       
      
      
      
      
      
      
      
      
      
      
      
      
      

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here