Pak AR dan Kisah Anak Latimojong

0
1297
- Advertisement -

Kolom Imran Duse

Dan tibalah hari di mana saya mesti berangkat, setelah sekian hari terperangkap Dejavu sebagai ‘mahasiswa baru’ di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Maka hari itu, Selasa (13/9), ingin saya gunakan sebaik-baiknya untuk bersilaturahmi ke Pak Ketum PP Muhammadiyah Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si., sebelum terbang ke Balikpapan pukul 17.05 WIB. Sehingga selepas beroleh informasi jadwal Pak Ketum (siang itu akan menerima kunjungan Duta Besar Australia di kantor PP Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro Yogyakarta), saya pun bergegas ke sana.

Saat tiba di gedung berlantai 3 itu, pertemuan tersebut sementara berlangsung. Alhamdulillah, batin saya. Sembari menunggu, saya menyeberangi jalan dua jalur itu, mendatangi asrama mahasiswa asal Sulawesi Selatan, Latimojong, di mana adik sepupu saya tinggal. Sayangnya Andhika, adik-sepupu saya itu, masih berkegiatan di kampusnya, UNY (dulu IKIP).

Sececah saya duduk di teras asrama, seraya mengamati gedung PP Muhammadiyah, yang terletak di seberang jalan, tepat di depan asrama Latimojong. Seketika terlintas sosok Pak AR, ulama besar dan mubaligh yang tak lelah menaja energi kesejukan di sepanjang hidupnya yang melimpah kesederhanaan. Sosok bersahaja itu tetiba hadir karena gedung itu dulunya adalah tempat kediaman keluarga Pak AR (panggilan akrab K.H. Abdur Rozak Fachruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1968-1990).

- Advertisement -

Saya kira, Pak AR bukan hanya bersahaja, tapi sangat sederhana. Untuk mencukupi tunjangan pensiunnya yang “hanya” delapan puluh ribu rupiah (sejak tahun 1980-an), Pak AR kemudian berjualan bensin eceran di depan rumah dan menyewakan sejumlah kamar sebagai tempat kos mahasiswa. Sekali lagi, bensin eceran, yang literan di dalam botol atau jerigen. Dan ini: tak jarang Pak AR sendiri yang turun tangan melayani pembeli, mengisi tangki sepeda motor mereka yang umumnya mahasiswa.

Kita juga tahu, hingga akhir hidupnya, Pak AR tak pernah memiliki rumah pribadi. Kendaraannya pun, yang ia gunakan berdakwah ke gang-gang sempit, “hanya’ motor bebek Yamaha keluaran tahun 1970-an. Padahal, kalau saja Pak AR berkenan, beliau cukup menerima beberapa hadiah dan berbagai pihak yang menaruh simpati pada pilihan perjuangannya. Pernah ada yang menghadiahkan mobil baru, tapi dengan halus ditepisnya: tidak bisa mengemudi, tak ada tempat parkir, dan repot dibawa berdakwah ke lorong-lorong yang sempit.

Bahkan, tawaran jabatan menteri dari Presiden Soeharto pun dengan halus ia tolak. Ia sampaikan ke Pak Harto, bahwa biarlah ia mengurusi Muhammadiyah. Dan konon, tawaran menteri itu terjadi bukan hanya sekali.

Begitulah Pak AR. Menjalani hidup dengan perangai zuhud telah memangkalkan nama Pak AR di hati banyak kalangan. Ia dihormati dan dicintai. Termasuk bagi anak-anak asrama Latimojong yang tinggal tepat di depan rumah Pak AR tadi.

Kedekatan jarak itu kemudian membuat anak-anak asrama Latimojong menjadi dekat secara ‘personal’ dengan Pak AR (dan keluarga), yang memang dikenal luas sangat bersahaja, terbuka, dan ‘apa adanya’. Mereka sering melaksanakan salat berjamaah di rumah Pak AR (terutama di waktu subuh dan maghrib).

Juga ketika Ramadhan datang, anak-anak asrama nyaris selalu menghelat buka puasa bersama, dan selama Pak AR berada di Yogyakarta, tak pernah beliau menolak hadir dan menyampaikan ceramah. Begitu pun saat tiba Hari Raya Idul Fitri (dan Kurban), mereka juga –khususnya yang tidak bisa pulang kampung— merayakannya bersama keluarga Pak AR; di rumah Pak AR.

Jadi, bagi anak-anak asrama (yang datang dan pergi setiap tahun ajaran baru), Pak AR diposisikan sebagai orang tua. Mereka sedemikian takzim dan mencintai Pak AR –dalam pengertian yang sesungguhnya.

Atas nama cinta itulah, ketika Pak AR sakit di (sekira) tahun 1993, anak-anak asrama mengambil inisiatif untuk memberhentikan dan mengalihkan arus lalu lintas yang hendak melintas di jalur di depan rumah Pak AR. Saya pernah mendengar cerita ini dari sahabat saya Suryadi Sulthan, yang di era 1990-an tinggal dan menjadi (kalau tidak salah) Ketua Asrama Latimojong.

“Teman-teman menggunakan bambu untuk memalang jalan dan menjaga agar tidak dilalui oleh kendaraan. Dimulai sekitar jam 22.00 sampai dini hari, sekira jam 01.00. Kita khawatir suara knalpot motor yang nyaring akan mengganggu istirahat beliau yang sementara sakit,” ungkap Suryadi Sulthan.

Selain itu, ada satu peraturan asrama: tidak boleh memakai celana pendek di teras. Dari semua asrama mahasiswa Sulsel di Yogyakarta (waktu itu jumlah sekitar 7), hanya di asrama Latimojong yang ada peraturan seperti itu.

Saya masih membayangkan bagaimana senior asrama Latimojong menyuruh para yunior mengganti celena pendek mereka, ketika di seberang jalan terlihat pergerakan mobil-mobil berpelat CD (corps diplomatic). Sepertinya pertemuan telah usai dan rombongan Dubes Australia akan meninggalkan gedung PP Muhammadiyah –yang siang itu saya lihat sudah menjadi semacam Monumen Keteladanan Pak AR.

Sejumlah wartawan masih mewawancarai Pak Ketum Prof. Haedar Nashir, sesaat setelah iring-iringan kendaraan Dubes Australia meninggalkan halaman kantor PP Muhammadiyah. Saya ikut mendekat, menguping keterangan dan jawaban Pak Ketum kepada rekan-rekan pers, terkait maksud kedatangan Dubes Penny Williams.

Setelah sesi tanya jawab itu selesai, saya pun mendekat dan menyapa Pak Ketum. Tapi, entah kenapa, pikiran saya terus mengejar ketulusan dan sikap hidup Pak AR. Memang, tantangan dan kondisi lingkungan eksternal yang dihadapi Pak Haedar hari ini tentulah berbeda di bandingkan zaman Pak AR dulu. Tapi, hemat saya, setidaknya ada 3 hal yang mempersamakan, yang sejauh ini dirawat dengan baik melalui kepemimpinan Pak Haedar Nashir: kesederhanaan, keikhlasan, dan kesetiaan pada perjuangan. Barangkali itu! ***

Imran Duse, Wakil Ketua Komisi Informasi Kalimantan Timur dan Ketua Keluarga Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (KAUMY) Kaltim.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here