Kolom Zaenal Abidin
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015, Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS
Bulan Januari dan merupakan bulan dengan curah hujan yang tinggi. Banjir mulai mengancam beberapa daerah di Indonesia. Perubahan cuaca yang ekstrim ini akan mengubah bionomik agen penyakit yang memungkinkan penyebaran penyakit ke manusia. Penyakit tropis seperti demam berdarah, pes, malaria, diare dan lainnya mulai menjangkiti warga.
Apalagi saat merebaknya penyakit yang disebabkan oleh virus Corona yang berasal dari negeri China, tepatnya Wuhan. Kita belum tahu sampai kapan bemasyarakat kita yang akan menghadapi penyakit-penyakit tersebut. Ketika itu banyak yang telah dilakukan, namun hasilnya belum menggembirakan.
Kesehatan dalam perspektif ilmu kesehatan masyarakat merupakan hasil keseimbangan antara faktor agen penyakit, lingkungan, dan individu itu sendiri. Ketiga faktor ini saling memengaruhi. Faktor individu memegang peranan yang penting. Individu memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami segala hal yang akan memengaruhi sikap dan perilakunya.
Dalam konteks kesehatan, pengetahuan dan pemahaman individu terhadap ancaman penyakit di sekitarnya akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku individu dalam mencegah penyakit. Misalnya dengan merekayasa lingkungan ataupun penggunaan sarana pelayanan kesehatan.
Upaya Kesehatan Masyarakat dan Pemberdayaan Kesehatan
Di Indonesia, konsep pembangunan kesehatan masih menggunakan pola provider driven yaitu upaya kesehatan masyarakat yang diberikan secara formal melalui konsep pelayanan kesehatan terstruktur (primary, secondary, tertiary). Persoalannya, konsep ini dianggap gagal karena lemahnya partisipasi warga dalam upaya kesehatan masyarakat.
Hal di atas diperparah oleh primary health care (puskesmas) yang seharusnya terdepan memelopori upaya kesehatan masyarakat namun sejak lama telah “disulap” menjadi unit pelayanan medis, yang lebih mengedepankan aspek pengobatan (kuratif). Di lain sisi pelayanan kesehatan sekunder (rumah sakit) dan tersier (rumah sakit yang lebih subspesialis), justru dibebani untuk menangani masalah kesehatan masyarakat. Jadi kondisinya menjadi terbalik.
Memberi bebankan untuk sebagian besar masalah kesehatan kepada tenaga medis tentu kurang menguntungkan. Sebab, kita semua tahu bahwa tenaga medis itu jumlah dan “produksinya” terbatas. Biaya untuk mendidiknya pun berbiaya tinggi. Lain soal bila pemerintah kita punya banyak uang untuk menanggung biaya pendidikan dokter tentu tidak akan menjadi masalah.
Persoalan yang sering dihadapi adalah kebiasaan masyarakat dan pemerintah ketika menghadapai masalah kesehatan, selalu perhatiannya hanya terfokus kepada tenaga medis, dokter, terutama dokter spesialis. Sekali pun masalah kesehatan tersebut mampu ditangani oleh tenaga kesehatan lain.
Dokter apalagi dokter spesialis masih saja diperankan sebagai “penyerang” di sektor depan. Melakukan promosi kesehatan dan pencegahan kesehatan masyarakat. Padahal semestinya posisi mereka berada di sektor “pertahanan” di bagian belakang (hilir, rumah sakit), untuk menangani yang sudah sakit.
Untuk diketahui, Indonesia memiliki banyak tenaga kesehatan (non dokter) yang telah dididik dan dilatih khusus untuk menangani masalah kesehatan masyarakat. Namun, tetap saja penanganannya diserahkan kepada dokter atau dokter spesialis.
Fenomena ini paling sering disaksikan pada saat pandemi Covid 19 lagi tinggi-tingginya, hampir semua pasien dikirim mau di rujuk ke rumah sakit. Hingga kerap terdengar ada dokter spesialis yang berkata; “Kalau yang ringan-ringan janganlah bawa kepada kami. Kasihlah ke kami yang berat-berat saja.” Artinya, dokter spesialis tersebut sangat menyadari dirinya sebagai pemain di belakang, disektor pertahanan.
Dokter spesialis tersebut sangat ingin agar pemerintah membuat pembagian tugas dengan baik. Mereka pun ingin bekerja maksimal sesuai komptensi dan kewenangannya untuk mengurus yang berat-berat. Untuk mengedukasi masyarakat secara langsung mapun melalui media, seharusnya cukup diserahkan kepada tenaga kesehatan lainnya.
Dari pengalaman tersebut, seharusnya pemerintah berpikir untuk menata dan memperbaiki sistem kesehatan dan pelayanan kesehatannya. Kemudian membuat pembagian tugas dengan baik. Harus jelas mana tugas pemerintah, mana tugas tenaga medis dan timnya, mana tugas tenaga kesehatan masyarakat, dan mana tugas tenaga kesehatan lainnya.
Harus jelas mana urusan pelayanan kesehatan masyarakat dan mana urusan pelayanan medis. Sebab, tidak mungkin tenaga medis terutama dokter spesialis berperan di segala lini. Sementara tenaga kesehatan selain tenaga medis jumlahnya sangat banyak, dengan kompetensi dan kewenangannya masing-masing.
Bayangkan saja, bila seorang dokter atau dokter spesialis yang sedang ditugaskan di sektor serangan, kemudian ada pasien di sektor pertahanan (di rumah sakit) maka ia terpaksa harus berlari kencang untuk kembali ke sektor pertahanan. Pastilah tenaga dokter atau dokter spesialis tersebut merasa kelelahan.
Sistem yang kurang tertata, juga akan membuat hampir semua tenaga kesehatan terpaku pada tembok bangunan puskesmas yang menjadi tempat yang pelayanan kuratif dan di rumah sakit. Sedangkan entitas masyarakat di luar tembok itu seakan kehilangan arah terhadap apa yang mesti dilakukan dan apa yang mesti dihindari untuk memelihara kesehatannya. Hubungan hanya terbangun pada saat sakit dan sakit lagi.
Peduli Kesehatan Diri Sendiri
Sementara hak asasi manusia tertinggi dalam kesehatan adalah “hak untuk diajar cara hidup sehat” dan “hak dijaga kondisi kesehatannya”, bukan hak untuk diobati pada saat mereka sakit. Perlu diingat, bahwa pemerintahan suatu negara dibentuk untuk memenuhi hak tertinggi atau HAM kesehatan dari rakyatnya.
Persoalan di negeri ini adalah sering kali rakyat bersifat pasif terhadap haknya. Setelah sakit baru sadar kalau ia punya hak untuk hidup sehat. Pihak pemerintah juga sering lupa kalau punya kewajiban konstitusional unruk menyehatkan. Pepatah “sedia payung sebelum hujan” masih retorika belaka. Paradigma sehat belum menjadi semangat bersama dalam pembangunan kesehatan.
Partisipasi masyarakat haruslah diberikan tempat dalam upaya kesehatan. Tentu saja setelah terlebih dahulu diberi bimbingan dan pendampingan atau difasilitasi oleh pemerintah. Pola provider driven dialihkan menjadi community driven di mana “kemandirian kesehatan” masyarakat sebagai paradigma pembangunan kesehatan.
Konsep pembangunan kesehatan ke depan diarahkan pada konsep kemandirain kesehatan denngan peduli kesehatan diri sendiri. Konsep ini merupakan konsep yang sejalan dengan paradigma sehat. Fokus pembangunan kesehatan bukan hanya pada upaya kesehatan formal, tetapi bagaimana agar setiap individu dapat lebih berdaya untuk memberikan perhatian pada hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan dirinya. Dapat mengidentifikasi serta mengambil keputusan atas kesehatan dirinya sendiri.
Spirit di atas dapat ditularkan pada lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga melahirkan community empowerment (pemberdayaan masyarakat) yang berujung pada community participation (partisipasi masyarakat). Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat menekankan sikap dan perilaku individu untuk sadar, mau, dan mampu hidup sehat. Dengan konsep ini, upaya kesehatan akan berjalan lebih efektif dan efisien termasuk dalam hal pembiayaan kesehatan.
Sejak lama model partisipasi semacam ini telah berjalan walaupun dalam lingkup yang terbatas dan sederhana, dilakukan melalui kegiatan pos pelayanan terpadu (Posyandu). Namun, kini kurang maksimal dikarenakan jauhnya jarak antara posyandu dan tenaga kesehatan. Belum lagi, sebahagian besar kegiatan posyandu dikerjakan oleh petugas kesehatan. Akibatnya proses pemandirian menjadi terhambat.
Kini saatnya program posyandu lebih didekatkan kepada penduduk. Posyandu yang selama ini berbasis lingkungan formal seperti RT atau RW sebaiknya digeser menjadi berbasis keluarga dan warga. Mudah-mudahan dengan cara ini program posyandu menjadi lebih dekat kepada individu penduduk dan lebih mandiri. Dan posyandu pun menjadi betul-betul terpadu. Sebab, memadukan minimal lima program utama, yakni: pelayanan keluarga berencana (KB), kesehatan ibu dan anak (KIA), imunisasi, perbaikan gizi, dan penanggulangan diare.
Catatan Akhir
“Peduli Kesehatan Diri Sendiri” sebagai konsep pembangunan kesehatan promotif dan preventif yang memandirikan individu dan masyarakat, tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Konsep ini berfokus pada masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya pada yang sakit.
Harapannya agar setiap individu di dalam masyarakat semakin peduli serta memberi perhatian kepada hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya. Dan juga mampu mengidentifikasi dan mengambil keputusan atas kesehatan dirinya sendiri. Bahwa dalam praktik kemandiriannya mereka tetap perlu berkonsultasi kepada dokter atau ahli kesehatan lainnya, itu soal lain. Wallahu a’lam bishawab.