Perang Penghabisan dan Jejak Heroisme Pandang-pandang dalam Bunduka ri Gowa

0
2878
- Advertisement -

Gowa adalah negara merdeka yang tidak berdiri di bawah, melainkan di samping Pemerintahan Belanda dan tidak termasuk dalam wilayah Hindia Belanda

[G.J.Resink]

Kolom Alif we Onggang

Kacang tidak lupa akan kulitnya jika Kompleks Pandang-pandang di Kabupaten Gowa adalah permukiman para pejuang revolusi fisik yang sebagian telah istirah di Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar. Tersebab kawasan ini dulu adalah arena perang Gowa terakhir — Bunduka Ri Gowa — melawan Belanda, 1905-1906, dari rentetan pertempuran melelahkan 350 tahun lamanya.

Bunduka ri Gowa merujuk perang antara Gowa melawan Belanda, bermula sejak tiga abad lampau dikenal pula sebagai Perang Makassar.  Daerah Pandang-pandang sebagai medan laga penghabisan dilanggamkan sebagai; apa uruna apa pakaramulanna nauruniya gea-gea ri Jongayya besere ri Pandang-pandang ( apa pokok apa pangkalnya, tapuk tengkar di Jongaya tapuk tengkar di Pandang-pandang).

- Advertisement -

Jangan heran jika dalam banyak gundukan tanah di sekitaran kompleks Kodam Hasanuddin ini mudah dijumpai serpihan-serpihan bata berwarna terakota. Kemungkinan kepingan itu adalah reruntuhan pertahanan sejumlah benteng seukuran mini dalam mempertahankan tanah tumpah darah dan rajanya.

Demikian juga ketika “anak-anak kompleks” nan badung ini hendak belajar berenang di Sungai Jeneberang pada dekade 70-an, — mereka biasanya melewati markas Kodim dan segera telihat reruntuhan bangunan mirip istana Hirohsima, — apakah sisa mesiu dari pertempuran hebat ini?

Semakin terasa aroma patriotisme lantaran di seputar Pandang-pandang, tiga tokoh pengubah sejarah dimakamkan di sini yaitu Sultan Hasanuddin, Arung Palakka dan Syekh Yusuf. Sejatinya kawasan ini diusung sebagai destinasi wisata sejarah dan religi, seraya menelusuri jejak-jejak arkeologis dan situs sejarah yang terserak di sana sini taruhlah seperti sumur tua dekat makam Sultan Hasanuddin, atau sejumlah gua di sekitrarnya hingga Benteng Somba Opu, di delta sungai Jeneberang.

Raja Gowa XXXIV

Tokoh utama Bunduka ri Gowa adalah Sombayya Ri Gowa ke-34 (1895-1906), I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang, Gelar Sultan Husain Tumenanga Ri Bundu’na.  

Guna mengatasi Gowa, Belanda lebih dulu menaklukkan Bone. Gowa dinilai kompeni sebagai keras kepala. Raja Gowa tak hirau dan mengadakan pembicaraan dengan batte salapang — semacam dewan adat  — serta sejumlah saudaranya, termasuk Karaeng Bontonompo yang menyadari peranannya bagi kehormatan Gowa.  Bagi rakyat Gowa, yang selalu bersandar pada petuah nenek moyangnya: Je’ne mako kibatang, mammanyu, naiyasani sampobonanpa namammanyu (Raja berkuasa dalam batas yang patut bagi rakyat, namun rakyat berkewajiban untuk membela bila kerajaan dalam bahaya).

Dan senyatanya rakyat Gowa mewujudkan dalam pertarungan tak kenal menyerah. Boleh saja di bagian lain di Nusantara dijajah 350 tahun akan tetapi Gowa sejak abad 16 — sedikitnya setiap setengah abad mengobarkan perang menandingi imperialisme meski dengan senapan sederhana, dan keris, hingga perang usai pada 1906. Gowa bagi Belanda adalah duri dalam daging untuk menguasai Nusantara.  

Karena itu, rakyat Gowa seperti cacing kepanasan dan menggeliat menyiapkan pertarungan. Di seluruh kerajaan Gowa diadakan kampanye meningkatkan mental rakyat agar sadar bahwa cepat atau lambat tentara berhidung betet ini akan menghajar Gowa. Namun, demi siri’ rakyat tak mau tunduk begitu saja kepada kompeni. Tak ada dalam kamus Gowa berlutut seperti kerbau dicucuk hidungnya.

Lagi pula Gowa adalah “Bangsa Merdeka”, yang oleh G.J.Resink dalam buku Indonesian History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968)  ditegaskan sebagai kerajaan merdeka yang tidak berdiri di bawah, melainkan di samping Pemerintahan Belanda dan tidak termasuk dalam wilayah jajahan Hindia Belanda.

Belanda yang berkedudukan di Makassar mulai memprovokasi dan mencampuri pertikaian internal Gowa dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Menyadari itu Belanda memobilisir angkatan perangnya. Darah Raja Gowa mendesir, “ Ikambe ri Gowa punna tasiri, pacceseng ni pajjului ri lino,” – yang bermakna: kami orang Gowa bila tak mampu menjaga siri, maka setidaknya kita saling mengasihi —  sumpah Raja Gowa dengan taksim, sebagaimana ditulis Manai Sophiaan dalam Perang Gowa Terakhir (1995).

Kompeni murka dan menuduh raja Gowa penghasut dan penyulut perang di seantero Sulawesi. Amarah Spelman membuncah dan tidak percaya orang Makassar. Sebaliknya Gowa emoh ditekan seperti ban gembos. Maka perang pun meletus; berawal 19 Oktober 1905 hingga usai 5 Maret 1906.   

Sejarawan Friedericy H.J., mencatat dalam Ettape (1961) bahwa serangan Belanda terhadap Gowa pada kurun itu dirasakan sebagai perang sejati dan besar-besaran. Inilah alasan yang dipakai Belanda untuk menyerbu Sultan Yogyakarta, tahun 1948.

Si Londo Frustrasi

Tak ayal kompeni melakukan operasi militer, sebaliknya Raja Gowa bersama rakyat siaga menghadapi serangan. Perang Makassar pun kembali terulang. Namun, kekuatan persenjataan tidak dipunyai Gowa sehingga disimpulkan pertempuran ini adalah perang gerilya. Betapa tidak, pasukan negeri keju ini lengkap dengan angkatan laut, pasukan kaveleri berkuda berikut senjata modern seperti meriam. Mereka terus merangsek pasukan Gowa, menyerang dari Makassar, hingga ke perlintasan Gunung Sari, Lakiung, Mallengkeri, lewat sungai Jeneberang (mungkin di Kodim)  sampai ke Limbung, Galesong, Pakatto dan berakhir di Pandang-pandang.

Tentara kompeni hendak mengejar raja Gowa, tapi lagi-lagi menghilang. Rakyat sebagai tameng siaga dengan senjata dan balik memukul dengan sisa-sisa tenaga. Dalam setiap peperangan sepanjang enam bulan itu, korban di kedua belah pihak berjatuhan. Gowa melakukan perlawanan dengan gigih.

Itulah sebabnya raja Gowa kerap memakai taktik siluman, membuat Belanda frustrasi dan pening tujuh keliling. Di cari di Jongaya, ternyata ada di tempat lain, bahkan jauh dari Gowa.

Sebelumnya Dewan Perang Gowa memutuskan agar raja beserta keluarganya meninggalkan kerajaan Gowa sehingga kekuatan perang ditumpukan pada perang rakyat  sebagaimana gambaran Abdulrazak Daeng Patunru dalam Sejarah Gowa (1969).

Perang terus berkecamuk, lanjutan perang Gowa sekian ratus tahun yang pasang surut dan sporadis. Apa hendak dikata, mendapat serangan bertubi-tubi dan mengerahkan pasukan yang didatangkan dari Batavia, Gowa kian terdesak  dan bersamaan dengan raja Gowa terjengkang di jurang pada malam pekat di desa Warua Sidenreng, bukan karena terkena peluru.

Sejak itu Kerajaan Gowa memasuki usia senjakala, dan Belanda langsung memerintah sebagai daerah jajahan. Selama 30 tahun Gowa tidak mengenal raja dalam pemerintahan.  Tahun 1936, Gowa memiliki raja baru bernama I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo sebagai raja Gowa ke-35.

Namun, api kejuangan dan patriotisme Gowa terus menyala dalam dada pejuang-pejuang yang terus bersiasat untuk mendepak kompeni. Alhasil, sembilan tahun kemudian Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.

Tapi dasar kemaruk, Belanda  tak mengakuinya dan kontan melakukan agresi kedua di Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan. Ini membikin darah rakyat dan pejuang mendidih. Rupanya spirit Bugis Makassar meruap dalam darah Jenderal M Pol. Jasin. Bersama Bung Tomo dan pasukan Polisi Istimewanya, Jasin, — turunan keenam Latemmasonge Arumpone Matinro Eri Malimongang, memainkan peran penting dalam pertempuran sengit di kota Surabaya mengusir komplotan Belanda pulang ke kampungnya di pinggiran bumi. Buntut peperangan menjadikan 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Jasin sendiri adalah Pendiri Polisi Republik Indonesia dan merupakan polisi pertama yang dianugerahi Pahlawan Nasional.

Di Yogya, Belanda juga lari lintang pukang, berkat keandalan tempur pasukan Kahar Muzakkar dan Andi Mattalata, tentu bersama Jenderal Sudirman dalam perang gerilya yang mematikan.  Sultan Hamengku Buwono IX, terus terang bilang: tidak ada manusia Indonesia yang dia kenal yang dapat ia samakan dengan Mattalatta.  ”Beliau menggempur Belanda di Sulawesi Selatan dan Jawa secara terus menerus, tanpa berhenti, tanpa mau istirahat. Saya kira, tanpa perjuangan Andi Mattalata, mungkin kita masih jahahan Belanda,” ujar Sultan dalam Andi Mattalatta, Meniti Siri dan Harga Diri, Catatan dan kenangan (2003).

Indonesia pun sukses mempertahankan kemerdekaan.

Namun,  ironisnya bila hari ini kita ke Gowa dan Makassar kita tak bakal merasakan atmosfir bangsa maritim nan hebat dan aura heroisme yang pernah begitu digdaya di Asia Tenggara ratusan tahun lampau.

Bandingkan di Benut, Johor Malaysia, mereka membangun pelbagai ikon perjuangan melawan penjajah, diabadikan lewat museum dan sejumlah monumen yang bertuliskan aksara Lontara yang menerakan kejuangan orang-orang Bugis. Atau di Singapura, di kawasan bisnis Orchid, pemerintah kota membuat patung perahu padewakkang seraya menjaga Bugis Junction dan menyulap distrik Sengkang sebagai kawasan megah sebagai penanda bahwa orang-orang Wajo dulu turut andil membangun Kota Singa ini. Mereka mengawetkan sejarah dalam ingatan. 

Bangsa besar adalah bangsa yang  menghormati jasa pahlawannya, sayangnya ternodai oleh bangsa malang lantaran amnesia dan tuna terhadap sejarahnya sendiri.

(Penulis menghabiskan masa kanak dan  remaja di Kompleks Pandang-pandang)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here