Oleh Imran Duse
Dalam dua pekan terakhir, diskursus publik perihal rahasia negara kembali mencuat. Percakapan itu berawal dari tulisan Prof. Denny Indrayana. Ia melempar dugaan putusan Mahkamah Konstitusi yang akan mengembalikan sistem Pemilihan Umum ke proporsional tertutup.
Guru Besar Hukum Tata Negara itu menyebut memperoleh informasi dari sumber anonim yang ia percayai kredibilitasnya. Tak hanya itu. Ia juga memiliki informasi perbedaan pendapat hakim: 6 hakim setuju (kembali ke proporsional tertutup) dan 3 hakim tidak setuju (dissenting opinion).
Dari situ, terbit masalah dan pro kontra pun menyeruak. Sejumlah kalangan mengkritiknya, termasuk Menkopolhukam Prof. Mahfud MD.
Dalam program Kick Andy, Mahfud MD menyebut informasi yang disampaikan Denny Indrayana termasuk dalam klasifikasi rahasia negara. Ia juga menilai tindakan tersebut melanggar UU ITE karena sengaja menyebarkan berita dan meminta pihak kepolisian tak ragu menelisik kasus tersebut.
Di lain pihak, masyarakat sipil memberikan dukungan atas langkah mantan Wamenkumham di era presiden SBY itu. Mengingat kita kini hidup di era keterbukaan dan informasi yang disampaikan Denny Indrayana memiliki implikasi besar bagi kehidupan politik dan demokrasi di tanah air.
Diskursus itu pun sampai di Senayan. Delapan dari sembilan fraksi di DPR RI (minus PDI-P) menggelar pertemuan. Hasilnya: mereka menampik sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Karena saat ini tahapan Pemilu tengah berjalan dan partai politik telah menyerahkan daftar calon anggota legislatif ke KPU. Tak pelak lagi, gegara satu tulisan, dunia politik dan hukum di tanah air bergemuruh.
Adapun goresan singkat berikut tak berpretensi masuk dalam wilayah politik-hukum itu. Melainkan hendak mengelaborasi ihwal rahasia negara dalam perspektif Undang-Undang No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Perubahan Paradigma
Suatu hari di tahun 1996, sebuah gagasan muncul memperkenalkan undang-undang yang mengatur rahasia negara. Namun ide itu mangkrak akibat gerakan pro demokrasi yang menuntun presiden Soeharto mengucapkan pidato pengunduran diri pada 21 Mei 1998.
Fajar reformasi pun menyingsing dengan membawa angin perubahan pada setidaknya 3 isu utama: hak asasi manusia (HAM); pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); dan, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Sejalan dengan itu, Sidang MPR RI Tahun 2000 mengadopsi hak atas informasi publik dalam konstitusi negara (Pasal 28F UUD 1945). Ini menandaskan negara mengakui hak atas informasi sebagai HAM, selain sebagai hak konstitusional warga negara.
Dorongan menerbitkan regulasi yang menjamin hak atas informasi pun semakin menguat. Terutama oleh inisiasi pegiat LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).
Perjuangan itu membuahkan hasil 8 tahun kemudian, saat Presiden SBY menandatangani Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada 30 April 2008. Indonesia pun menjadi negara ke-76 yang memiliki UU kebebasan informasi dan salah satu dari 90 negara yang secara khusus mencantumkan hak atas informasi dalam konstitusi negara.
Disahkannya UU KIP itu kian memudarkan gagasan sebelumnya tentang UU Rahasia Negara. Kendati sempat menjadi pembahasan DPR RI dan pemerintah pada tahun 2009, namun kemudian tak berlanjut. Dikarenakan desakan aktivis masyarakat sipil yang menengarai pengaturan tersebut tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip demokrasi, tata kelola pemerintahan yang baik, dan hak terhadap informasi publik.
Di lain sisi, kelahiran UU KIP adanya perubahan mendasar yang secara eksesif membalikkan paradigma pengaturan informasi publik di Indonesia. Dulu, paradigmanya adalah semua informasi bersifat “tertutup”, kecuali yang dibuka oleh pemerintah. Tapi setelah adanya UU KIP, maka paradigmanya menjadi semua informasi bersifat “terbuka”, kecuali yang “dikecualikan”.
Paradigma baru ini dimaksudkan untuk menghadirkan sebuah penyelenggaraan pemerintahaan yang terbuka (open goverment) sebagai salah satu pondasi pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Berikutnya ialah mendorong partisipasi dan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik. Sehingga masyarakat mengetahui alasan suatu kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak.
Informasi Dikecualikan
Dalam UU KIP, kata ‘rahasia’ disebut sebanyak 5 kali dan tak satu pun ada istilah ‘rahasia negara’. Ini dapat dimaknai bahwa sepanjang berkaitan dengan urusan publik, maka tidak ada lagi informasi yang bersifat rahasia.
Untuk mengakomodir kepentingan “kerahasiaan” itu, UU KIP menyediakan pasal “informasi yang dikecualikan”, sebagaimana disinggung di atas. Badan publik dapat menutup akses terhadap suatu informasi dengan terlebih dahulu menyatakannya sebagai informasi yang dikecualikan.
Terdapat 9 instrumen untuk menetapkan sebuah dokumen sebagai “informasi yang dikecualikan” (Pasal 17 UU KIP). Yakni, informasi yang berpotensi menghambat proses penegakan hukum; mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan dari persaingan usaha tidak sehat; membahayakan pertahanan dan keamanan negara.
Selanjutnya adalah informasi yang mengungkap kekayaan alam Indonesia; merugikan ketahanan ekonomi nasional; merugikan kepentingan hubungan luar negeri; mengungkap isi akte otentik; mengungkap rahasia pribadi; memorandum badan publik yang bersifat rahasia; serta informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan undang-undang (lex specialis).
Namun, untuk menyatakan suatu informasi bersifat dikecualikan, mesti melalui proses pengujian konsekuensi dan kepentingan publik. Proses tersebut melibatkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang ada di setiap badan publik.
Lewat proses ini, sebuah informasi diuji: tentang dampak dan konsekuensi yang ditimbulkannya apabila dibuka kepada masyarakat. Dus, apakah menutup suatu informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya (atau sebaliknya?).
Tahap berikutnya adalah menentukan batas waktu pengecualiannya: bisa 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, dan seterusnya. Ketika masa pengecualiannya berakhir, maka secara otomatis informasi tersebut pulih kembali sebagai informasi terbuka. Dengan kata lain, pengecualian sebuah informasi tidaklah bersifat permanen, melainkan dibatasi limitasi waktu
Ini mirip makanan kemasan yang memiliki “masa kedaluwarsa” (expiration). Bedanya, jika masa kedaluwarsa makanan kemasan berakhir, maka ia menjadi tidak layak konsumsi. Sementara jika waktu pengecualian informasi berakhir, maka informasi tersebut menjadi “informasi terbuka” yang dapat diakses oleh pengguna informasi.
Barangkali itu!
Penulis, Wakil Ketua Komisi Informasi Kalimantan Timur