Waspada, Nyamuk Aedes Aegypti Belum Pensiun

0
1284
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Webinar kami [Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, BPP. KKSS, Literasi Sehat Indonesia (LiSan), Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), Bakornas Lembaga Kesehatan (LKMI-HMI), dan www.sadargizi.com], Jum’at, 23 April 2021, akan membahas tema “Waspada, Acaman Demam Berdarah Dengue di Tengah Pandemi Covid-19. Konsepnya webinar tetap merupakan forum sedekah ilmu dan berbagi pengalaman dan meniru fungsi khutbah Jum’at atau ibadah pekan lain.

Tema ini sengaja kami angkat karena biasanya setiap tahun pada musim hujan di Indonesia banyak kasus demam berdarah dengue. Kami awali kata “waspada” dan akhiri dengan “di tengah pandemi covid-19” atas saran beberapa teman. Tentu saja maksudanya supaya kita semua orang Indonesia apapun jabatan dan status sosialnya agar tidak terpaku hanya mengurus pandemi covid-19. Dan hendak mengingatkan bahwa sebelum pandemi covid-19, orang Indonesia sudah “memiliki” virus langganan yang selalu mengancam.

Sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di Indonesia. Penyakit ini dapat mengakibatkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah endemis yang terjadi hampir setiap tahunnya pada musim penghujan.

Sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan manifestasi klinis berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian menyebar ke Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan Indonesia. Tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan Jakarta sebanyak 58 kasus, dengan kematian yang sangat tinggi, 24 orang (case fatality rate 41,3%). Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia.

- Advertisement -

Menurut catatan Kementerian Kesehatan RI, sebagaimana diberitakan kompas.com, 22 Juni 2020, ada 68.753 kasus DBD di Indonesia secara kumulatif hingga Juni 2020. Jika dibanding dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama, jumlah total kasus DBD hingga Juni 2019 sebanyak 105.222. Jumlah tersebut lebih banyak bila dibandingkan dengan kasus DBD yang telah ditemukan hingga Juni 2020. Angka kematian pada tahun 2019, hingga bulan Juni tercatat 727 kasus kematian. Sementara pada tahun 2020 pada periode yang sama, yaitu hingga bulan Juni, tercatat 446 kasus kematian akibat DBD.

Demam berdarah dengue (DBD) atau sering pula disebut dengan demam berdarah disebabkan oleh infeksi virus dengue yang dan ditularkan oleh nyamuk aedes aigypty. Gejala klinis yang sering timbul bila terkena penyakit DBD antara lain: demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diathesis hemoragik. Pada demam berdarah dengue terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.

Menurut WHO kriteria demam berdarah dengue ialah demam yang berlangsung 2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan, trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/mm3), dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Biasanya demam mulai mereda pada 3-7 hari setelah onset gejala. Pada pasien juga bisa didapatkan tanda peringatan, yaitu sakit perut, muntah terus-menerus, perubahan suhu (demam hipotermia), perdarahan, atau perubahan status mental (mudah marah, bingung).

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue dan kondisi geografis setempat.

Demam berdarah dengue sering terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun. Sekitar 50% penderita DBD berusia 10-15 tahun yang merupakan golongan usia yang tersering menderita DBD dibandingkan dengan bayi dan orang dewasa. Nyamuk Aedes aegypti aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00.

Agar penduduk negeri ini tidak idak menjadi korban dua virus dalam waktu yang bersamaan,. Sudah menjadi korban covid-19, kemudian harus terserang virus dengue. Karena itu, kita perlu selalu mengenali gejalanya penyakit DBD seperti yang disebutkan di atas. Dan tentu yang terpening adalah bagaimana mencegahnya.

Cara terbaik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan melindungi diri dari gigitan nyamuk Aedes aegypti, pembawa virus tersebut. Cara ini bisa kita lakukan dengan mengenakan pakaian yang menutupi lengan dan kaki. Saat tidur, sebaiknya kita menggunakan kelambu dan pengusir nyamuk atau lotion anti nyamuk.

Cara lain adalah dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan kegiatan 3M. atau sering pula kita dengar dengan istilah 3M Plus. Yang dimaksud 3M adalah: 1) Menguras, merupakan kegiatan membersihkan/menguras tempat yang sering menjadi penampungan air seperti bak mandi, kendi, toren air, drum dan tempat penampungan air lainnya. Dinding bak maupun penampungan air juga harus digosok untuk membersihkan dan membuang telur nyamuk yang menempel erat pada dinding tersebut. 2) Menutup, merupakan kegiatan menutup rapat tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi maupun drum. Menutup dapat pula diartikan sebagai kegiatan mengubur barang bekas di dalam tanah agar tidak membuat lingkungan semakin kotor yang berpotensi menjadi sarang nyamuk. 3) Memanfaatkan kembali limbah barang bekas yang bernilai ekonomis (daur ulang), disarankan memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang-barang bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk aedes aegypti.

Sedangkan yang Plus-nya adalah upaya pencegahan tambahan antara lain: memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, menggunakan obat anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, menggunakan penerangan di rumah/kamar, kerja bakti membersihkan lingkungan, periksa tempat-tempat penampungan air, meletakkan pakaian bekas pakai dalam wadah tertutup, memberikan larvasida pada penampungan air yang susah dikuras, memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar, menanam tanaman pengusir nyamuk. Tentu masih banyak cara yang sering dipraktikan masyarakat laokal guna dalam mencegah penularan penyakit DBD ini.

Sekalipun menurut catatan kementerian kesehatan di atas terjadi penurunan kasus DBD dan kasus kematian akibat DBD hingga bulan Juni 2020, dibanding pada periode yang sama tahun 2019, namun tentu tidak ada yang menginginkan kejadian tersebut. Tidak ada di antara kita yang ingin anggota keluarganya sakit atau meninggal karena sakit DBD. Karena itu, prinsip “lebih baik mencegah dari pada pengobati” harus harus menjadi tujuan dan semangat bersama kita.

Melihat masih terdapatnya kasud setiap tahunnya maka ini pertanda bahwa virus dengue yang merupakan penyebab penyakit demam berdarah masih tetap eksis. Nyamuknya masih aktif menjalankan tugas untuk menyebarkan virus mematikan ini melalui gigitannya. Dan juga masih aktif berkembang biak setiap ada musim dan kesempatan. Artinya, nyamuk aedes aigypty sebagai vektor belum “pensiun”.

Lebih lanjut, mengenail penyakit DBD dan cara mencegahnya, kita akan dengarkan paparan nara sumber Prof. dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc., Ph.D., seorang guru besar dan peneliti entomologi nyamuk dari Universitas Hasanuddin Makassar. Saya kenal sebagai pakar nyamuk karena beliau adalah teman baik saya, teman kuliah, dan teman berorganisasi. Kita pun akan dengar pandangan dari lima penggap, yang terdiri dari dua orang dokter, yakni: dr. Eifel Faheri, Sp.PD-KHOM (Dosen Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Andalas) dan dr. Kamaruddin Askar (Ketua IDI Bekasi Kota). Serta tiga penanggap jurnalis senior, yakni: Rr. Laeny Sulistyawati (Republika), Uyung (Redaktur Pelaksanan Detikhealth), dan Faturahman S. Kanday (Pojoksatu). Semoga webinar ini memberi manfaat bagi kita semuanya. Billahit Taufiq Walhidayah.

Penulis, inisiator Webinar dan Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here