Kolom Mursalin
Dulu. Saat tahun 90 an. Ketika masih SMP. Setiap 30 September. Rasanya ada sesuatu yang spesial. Terutama malam harinya. Berjubel kerabat dan tetangga sekitar rumah, berkumpul menyaksikan film yang diputar oleh televisi milik pemerintah, TVRI. Meskipun saban tahun diputar, tetap saja Kami tertegun, serius menyaksikan film bertajuk G 30 S. Lalu esoknya, masing masing berbincang, membicarakan adegan di layar kaca tersebut. Kesimpulannya selalu sama saban tahun sehabis menonton; haru, iba dengan korban, dan marah kepada PKI selaku pelaku pengganyang tujuh Jenderal.
Karena jadi film yang populer G 30 S, rerata pelajar kala itu jarang yang tak bisa menjawab, bila ditanya “Kapan hari Kesaktian Pancasila?” Hampir dipastikan semua akan menjawab dengan benar; tanggal 1 Oktober.
Ingat betul dengan tanggal kesaktian Pancasila rupanya tak berbanding lurus dengan mata pelajaran terkait Pancasila. Nama mata pelajarannya yaitu PMP, yang merupakan singkatan dari Pendidikan Moral Pancasila. Entah kenapa-semata subjektif, pelajaran ini agak membosankan.
Padahal, untuk pendidikan dasar dan menengah diera Orde Baru, PMP merupakan mata pelajaran Pokok. Kalau sampai nilai jeblok, maka akan mempengaruhi kenaikan siswa.
Namun, untung saja, seingat Saya, meski agak bosan dengan mapel PMP, tetap perolehan nilai mapel ini tidak pernah dibawah tujuh-dengan patokan angka 10 paling tinggi. Atau juga, jangan jangan, nilai tujuh adalah yang paling standar untuk PMP sebenarnya, mengingat urgennya mapel ini.
Apa gerangan menjadi bosan belajar PMP, Saya juga tidak tahu persis. Sejenak merenung, mungkin salah satunya karena guru yang mengajar memang bukan spesial keilmuannya tentang ideologi. Mereka biasanya guru bidang keilmuan lain seperti matematika, bahasa Inggris dan lainnya, yang mendapat tugas untuk mengajar PMP. Tapi, biasanya, mereka para guru tersebut pasti sudah mengikuti penataran terkait Pancasila yaitu P4, yang merupakan singkatan dari Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila.
Berhadapan dengan murid yang sudah sangat akrab dengan Pancasila, guru memang harus jeli untuk mendapat perhatian dari anak didiknya. Sebab kalau hanya mengenalkan seputar Pancasila dan lima sila nya, mereka murid menganggap hal biasa. Mereka pelajar diera 80 an dan 90 an, umumnya tak asing dengan Pancasila. Selain di perkantoran, hampir di setiap rumah memiliki poster simbol negara tersebut. Yaitu gambar burung Garuda yang di dadanya terpasang perisai Pancasila.
Bukan cuma berbahan kertas, tak sedikit rumah warga terpajang poster Pancasila demhan bahan dari kain hitam yang tulisan dan gambarnya berwarna keemasan. Sehingga cukup indah untuk dipajang di dinding serambi rumah. Maka nya tak heran, bukan hanya hafal sila yang ada lima tersebut, gambar di setiap sila juga murid kadang hafal diluar kepala.
Sakralnya Pancasila disaat Orde Baru tersebut, sehingga semua warga negara menjadi sangat berhati hati untuk membicarakan. Jangankan berdiskusi atau meperdebatkannya secara terbuka, berbisik pun juga terkadang mesti sangat hati hati-kalau sudah menyangkut Pancasila. Dan Pancasila biasanya lebih sering hadir hanya sebagai suatu doktrin. Maka nya tak heran, pemaparan Pancasila dulu terkesan kaku dan membosankan.
Namun suasana berbeda ketika rezim Orba runtuh. Pasca reformasi, Pancasila kembali menarik. Para akademisi atau ahli sering mendiskusikannya secara terbuka. Berbagai sudut pandang mengemuka, mulai dari histori hingga subtansi implementasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak jarang diselingi perdebatan ilmiah dalam diskusi tersebut. Meski bersilang pendapat, semua berada di titik yang sama yaitu bahwa Pancasila sebagai dasar negara: “Final!!”
Hasrat untuk mengutak atik kembali Pancasila sebagai dasar negara jelas suatu yang tidak substansi. Karena outputnya bukan malah manfaat, melainkan dikhawatirkan mudharat. Komunikasi yang mis dapat menimbulkan perpecahan sesama anak bangsa. Begitupun juga kalau terlalu berlebihan mencemaskan akan terkikisnya Pancasila, pun rasanya hanya akan membuang energi. Semua elemen bangsa hendaknya fokus menyalurkan energi yang dimiliki untuk menata rumah besar bersama bernama Indonesia yang sudah berumur 76 tahun ini.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta derasnya arus informasi yang melanda dunia global saat ini, adalah suatu keniscayaan. Tak perlu dikhawatirkan-akan menggerus nilai Pancasila, tapi harus disikapi dengan positif. Bahkan kondisi zaman yang terus berkembang sekarang merupakan tantangan Kita, untuk membuktikan eksitensi pondasi dasar bernegara yang dimiliki bangsa ini bernama Pancasila.
Pun bila Kita berkaca ke sejumlah negara yang ada di belahan bumi ini, masing masing mereka tumbuh dan berkembang sesuai model yang dimiliki. Ada negara yang maju dan pesat pertumbuhannya dengan menganut sistem demokrasi, ada yang monarki, dan bahkan juga negara komunis. Mereka terus melesat dengan jatidiri yang dimilikinya masing masing.
Nah, sudah saatnya Indonesia juga harus menunjukan eksestensinya sebagai negara Pancasila kepada masyarakat internasional. Gemuruh tepuk tangan dan sambutan meriah saat Presiden Soekarno berpidato menyampaikan Pancasila sebagai pondasi Indonesia di forum dunia PBB beberapa waktu silam, harus kita buktikan saat ini. Baik itu dalam aspek perekonomian, kemajuan iptek dan peradaban lainnya. Karena jika tidak, justeru berdampak sebaliknya bagi negara luar dalam melihat pondasi kita.
Kembali tentang ber Pancasila, Saya jadi teringat tiga bulan lalu, saat momentum peringatan hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni. Sore menjelang Magrib kala itu, Saya menyimak diskusi tentang Pancasila di stasiun televisi swasta. Bukan pembahasan tema yang menjadi magnet, malah justeru iklan jedanya yang cukup menggelitik. “Nah, ini baru generasi Pancasila.” Demikian pujian disematkan kepada pemuda yang mempersilakan tempat duduknya kepada seorang kakek yang berdiri di depannya di sebuah angkutan umum. Ia memilih untuk berdiri menggantikan posisi si kakek yang datang belakangan di busway tersebut.
Iklan layanan masyarakat tentang prilaku bernilai Pancasila di dalam angkutan umum tersebut, lantas mengungkit memori Saya beberapa tahun lalu, sebelum pandemi, ketika berada di angkutan umum. Pengalaman di angkutan umum tersebut kebetulan di tiga kota yang berbeda landasan pondasi negaranya; Singapura, Kuala Lumpur dan Jakarta. Namanya juga trip backpacker keluarga. Tentu angkutan umum menjadi pilihan utama saat jalan di kota yang disambangi..he..he.
Selama di Singapura, misalnya. Ketika menggunakan kereta listrik, meski ramai, Kami tak begitu kesulitan untuk mendapatkan kursi. Setiap naik kereta dan berjalan perlahan menyusuri gerbong, selalu ada yang menawarkan kursi untuk kedua putra Kami yang masih anak anak. “Terimakasih,” ujar Saya kepada dua remaja putri yang spontan berdiri ketika melihat Kami berada di depannya.
Suasana berbeda saat di Kuala Lumpur. Ketika menaiki Kereta Tanah Melayu alias KTM, rombongan Kami yang tertatih di dalam gerbong-karena masuk belakangan dan tak kebagian kursi, akhirnya tetap saja berdiri sepanjang perjalanan. Kebetulan destinasi yang dituju tak jauh-hanya di tiga titik berikutnya. Sepuluh menit perjalanan sambil berdiri malah menjadi hiburan bagi anak anak.
Pengalaman agak sedikit lucu malah saat menaiki kereta Jakarta-Bogor, sekembali ke tanah air tercinta. Ketika rombongan Kami sekeluarga menyusuri gerbong, alih alih menemui pemuda yang berdiri menyerahkan kursi yang ditempati, justru malah ada remaja yang mendadak tertidur ketika melihat dua anak Saya berdiri di depannya saat itu. Ehhmmm.
Dari pengalaman di kendaraan umum di ketiga kota tersebut tadi, semuanya Saya anggap hanyalah kasuistik semata. Namun, yang menarik, ternyata nilai Pancasila-di kendaraan umum-dengan mudah ditemui di tempat yang tak pernah tersentuh PMP. Ia hadir di kawasan tanpa penataran P4 dan tak memiliki lembaga BPIP.
Sebagai ideologi yang universal, nilai Pancasila bisa hadir dimana saja di belahan bumi ini. Malah dari contoh ketiga negara tadi, justru di Singapura-sebagai negara yang tinggi pertumbuhan ekonominya-nilai Pancasila menghiasi atmosfer ruang publik.
Apakah ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan implementasi nilai Pancasila? Demikian bisik Saya sambil berlalu., Tapi bisa jadi, hal menarik juga untuk diteliti para cerdik pandai. Jika nyatanya memang berkolerasi signifikan, maka ada baiknya semua pihak, terutama pemangku kepentingan, untuk segera lebih fokus memacu pertumbuhan ekonomi di negeri ini. Dengan asumsi sederhana yaitu, jika terwujud kemakmuran dan kesejahteran di masyarakat, maka ekosistem kehidupan yang bertabur nilai Pancasila juga akan tercipta dengan sendirinya.
“Nilai nilai Pancasila itu memang ada di sini (bumi Indonesia) sudah sejak lama,” tegas Ir Soekarno, Presiden pertama RI, pada suatu ketika, menjelaskan tentang pondasi negara yang telah ‘digalinya’ tersebut. Dan yang jelas, kehadiran nilai luhur Pancasila membutuhkan ruang dan waktu yang tepat. Ia tidak selalu berbanding lurus dengan gencarnya doktrin, sosialisasi, maupun pembentukan lembaga pembina ideologi dan sejenisnya. Terlebih dengan berprilaku paradok; menebar rasa saling curiga di antara kita sesama anak bangsa tentang klaim ber Pancasila.
Melihat tantangan yang semakin berat kedepan, mulai dari pandemi yang belum tahu kapan akan berakhir hingga ancaman perubahan iklim global yang bisa berujung munculnya bencana alam, maka kini sudah saatnya semua elemen bangsa di bumi nusantara ini bersatu. Semua kompak dan saling membahu dengan satu tujuan yang sama, membuktikan “Kesaktian Pancasila” kepada masyarakat dunia. Dan “Eksistensi negara bernama Indonesia” ini menjadi tolok ukurnya. Ya..Semoga!!
Penulis bekerja di PonTV