Kolom Fiam Mustamin
Sesama dari Soppeng, saya mengenal Andi Nurhiyari Jamaro, bergabung di KKSS di mana M. Taha sebagai Ketua Umum BPP KKSS. Ia bersama suaminya Andi Jamaro Dulung.
Sebelum di KKSS, perempuan penuh energi ini sudah menjadi aktivis keagamaan utamanya di NU, pilar keagamaan terbesar di Asia Tenggara. Andi Calli, begitu ia disapa, kemudian bergiat di KKSS dan di IWSS, badan Otonom yang bernaung di bawah KKSS.
Andi Calli kini menjadi pimpinan pusat IWSS, sejak tahun 2009. Ia tergolong pengusus yang aktif dalam penanganan organisasi, dalam pendanaan maupun dalam kebencanaan serta berbagai kegiatan sosial lainnya, Andi Calli terlibat penuh dan solutif.
Sebagai penerus wanita-wanita hebat Bugis Makassar yang telah mengukir peradaban sejak ratusan tahun, Andi Calli ingin mewujud dan menjadikan perempuan Sulawesi Selatan, khususnya IWSS menjadi mandiri, tangguh nan cerdas, religius dan berkepribadian berbasis budaya Sulawesi Selatan.
Sungguh cita-cita mulia. Bahkan ia ingin menjadikan IWSS sejajar dan diperhitungkan dengan organisasi wanita tingkat nasional dan internasiona. IWSS akan menjadi pelopor kecerdasan anak bangsa dan sebagai penggerak perekonomian wanita Sulsel.
Smart dan penuh vitalitas, ia juga dikenal sebagai pengusaha dan dosen. Tak heran sejak muda ia adalah aktivis di kampus, menjadi salah satu motor penggeraknya.
Sebelumnya Andi Nurhiyari berduet sebagai Sekjen IWSS dengan Nurwasih Asis. Salah satu program legasi yang dikenang, pasangan ini membentuk kepengurusan IWSS di sejumlah negara Eropa, Amerika, Kanada dan Australia.
Sulawesi Selatan memiliki geneologis wanita-wanita cemerlang pada jamannya. Entah penulis, pejuang, pendidik, aktivis hingga politisi. Sebelum Andi Calli, sudah ada seasalnya Marwah Daud yang malang melintang selaku politisi. Sepantaran itu ada Muba Kahar Muang, Oelfah Hermanto. Lebih senior ada Andi Erna Witoelar dan Andi Nafsiah Mboi serta Sjamsiah Ahmad.
Modal dasar Andi Calli adalah siri’ yang ada pada diri perempuan Bugis bukan sekadar rasa malu sebagaimana halnya yang berada pada masyarakat suku lain.
Bagi perempuan suku Bugis, siri’ sama derajatnya dengan martabat, nama baik, harga diri, reputasi, dan kehormatan diri maupun keluarga, yang semuanya itu harus dijaga dan dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial suku Bugis sehari-hari.
Siri’ diwariskan dan diperkenalkan secara turun temurun oleh anggota masyarakat suku Bugis sejak seorang perempuan mengenal apa sesungguhnya arti hidup dan apa arti harga diri bagi manusia.
Kehadiran Andi Calli di era kekinian dapat dibaca sebagai Wija Pattola — generasi pelanjut — dari pendahulu perjuangan pergerakan yaitu Besse Kajuara Bone, Opu Daeng ri Saju Luwu, Andi Ninong Wajo, Maraddia/ Ibu Depu Mandar, Welleidah Maladjong/ Daeng Kebo, Sitti Aminah Jusuf dan Moenasiah Manai Sophiaan dari Makassar.
Legolego Ciliwung, Awal Agustus 2023